Kesalahan yang selama ini terjadi dalam lingkup pendidikan adalah kurangnya merangsang peserta didik memiliki pemikiran kritis terhadap suatu masalah. Tak hanya itu, budaya diskusi yang seharusnya tersedia dalam ruang-ruang pengajaran masih dirasa sangat kurang, sehingga peserta didik sejak awal sudah terdesign sebagai objek. Hal ini yang sebetulnya perlu dikoreksi dan dibenahi.
Banyak faktor yang mempengaruhi sulitnya membangun jiwa pemikiran kritis dan budaya diskusi di sekolah. Pertama, ego guru. Sejak dulu, guru dianggap sebagai sumber ilmu yang mutlak bagi para siswa.
Apa yang disampaikan oleh guru dipastikan adalah sebuah kebenaran. Guru adalah subyek utama, dan siswa adalah objek. Inilah yang kemudian membuat peserta didik tak memiliki pemikiran kritis, karena munculnya rasa enggan untuk menyampaikan pandangannya kepada guru.
Kedua, lingkungan tempat tinggal atau rumah. Pendidikan orang tua di rumah adalah faktor penting yang menentukan pola dan sikap dasar anak dalam berinteraksi sebelum berbaur dengan lingkungan yang lebih luas, semisal di lingkungan sekolah. Hal ini yang kadang abai diperhatikan setiap orang tua di rumah sebelum melepaskan putra-putrinya untuk bertemu dengan lingkungan yang sangat majemuk, tanpa dibekali sikap percaya diri dan menumbuhkan sikap kritis, disamping bekal agama yang paling utama.
Sebagai guru, saya berbicara dalam konteks pendidikan di lingkungan sekolah dasar (SD), sebagai lingkup pengajaran yang selama ini saya jalani.
Banyak saya temui saat proses pembelajaran di kelas, di mana anak-anak murid ketika diminta untuk menanggapi apa yang saya sampaikan, merasa enggan karena malu.
Maka itu saya berkesimpulan, konsep merdeka belajar yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, sejalan dengan cita-cita saya untuk menumbuhkan jiwa pemikiran kritis dan budaya diskusi sejak dini kepada peserta didik yang masih duduk di bangku SD.
Menyambut gaung semarak merdeka belajar inilah yang membuat saya berpikir, apa yang seharusnya dilakukan guru sebagai pendidik untuk mendesign awal murid-muridnya agar memiliki karakter yang kritis dan terbiasa berdiskusi dalam memecahkan suatu masalah, dalam hal ini berdiskusi soal materi pelajaran yang diberikan.
Apa yang digagas Nadiem Makarim lewat konsep merdeka belajar, mengingatkan saya dengan teori konsep pendidikan yang membebaskan ala Paulo Freire, seorang tokoh pembaharu dalam dunia pendidikan asal Brazil. Menurut Freire, pendidikan yang membebaskan adalah suatu proses pendidikan di mana peserta didik diberikan kebebasan berpendapat dan berkreasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga anak dapat mandiri.
Freire menyoroti dominasi guru dalam proses pengajaran yang sebetulnya dalam dunia pendidikan modern, sudah harus ditinggalkan. Ia menilai, pandangan guru sebagai sumber ilmu utama tak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Guru saat ini harus memahami dirinya sebagai fasilitator bagi peserta didik, dan mendorong mereka memiliki kreativitas serta berjiwa kritis lewat budaya diskusi yang dihidupkan di ruang-ruang kelas.