Lihat ke Halaman Asli

Irsyadil Aulia

Mahasiswa/ Universitaas Andalas

Di Balik Subkultur Musik Rock, Grunge

Diperbarui: 10 November 2023   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Perkembangan musik di era globalisasi ini, ternyata juga memunculkan subkultur-subkultur dalam kebudayaan dominan. Subkultur yang terlahir dari sub rock memang lebih banyak menciptakan budaya tanding dari mainstreem budaya dominan, baik sosial masyarakat maupun dalam dunia musik itu sendiri. Subkultur semacam ini biasanya masuk dalam "scene underground". Istilah underground ini sering kali diartikan dengan karakteristik musik yang keras dan ugal-ugalan. Selain itu, istilah ini juga mengarah pada suatu "pergerakan" di mana subkultur ini tidak mau terikat pada suatu korporasi yang mengatur ekspresi seni mereka. Mereka mengembangkan nilai-nilai etika, seperti Do It Yourself (DIY). Subkultur seperti ini merupakan bentuk dari budaya tanding dari budaya dominan yaitu kapitalisme, maupun budaya sosial masyarakat.

Grunge (sering kali disebut juga Seattle Sounds) termasuk dalam subgenre rock altenative. Mulai dikenal sepanjang pertengahan 1980an di Washington, lebih tepatnya di Seattle. Adapun, dipercaya dari berbagai sumber bahwasanya Mark Arm, vokalis band Green River dan kemudian berganti menjadi Mudhoney, adalah orang yang pertama kali menggunakan kata grunge untuk menyebut jenis musik tertentu. Mark Arm pertama kali menggunakan kata tersebut sekitar tahun 1981. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, dengan fokus penelitian yaitu pengetahuan tentang grunge, alasan tergabung dalam anggota kelompok kaum kucel, identitas grunge dan gaya hidup grunge.

Munculnya subkultur grunge sebagai subkultur di luar mainstream, bisa dikaitkan dengan perkembangan industri kebudayaan di bawah bendera kapitalisme. Dimana industrialisasi dan komersialisasi budaya berlangsung di bawah hubungan produksi kapitalis. Sehingga segala sesuatu bisa dikomodifikasikan, dan muncul lah berbagai corak budaya kapitalisme. Seperti budaya konsumerisme, budaya massa, budaya popular dan lain sebagainya yang ke semuanya berada di bawah hukum komoditas. Seperti kelompok musik Nirvana yang beraliran grunge. Nirvana merupakan kelompok grunge fenomenal sebagai simbol perlawanan terhadap kapitalisme dengan membawakan lagu-lagu dengan tema protes dan menolak menggunakan produk bermerk. Di Indonesia sendiri musisi grunge seperti band Navicula juga identik dengan semangat perlawanan.

Subkultur grunge menunjukkan sisi kesadaran kritis dengan penolakannya terhadap kapitalisme, grunge menawarkan kebebasan baru dengan memberikan ruang bagi para penganutnya untuk memuntahkan idealisme, kemarahan, kekecewaan terhadap lingkungan, politik, sosial, bahkan cinta ke dalam sebuah hasil karya seni yang tidak hanya bisa dinilai dengan uang tetapi lebih dari itu. Tidak hanya kebebasan, grunge juga menawarkan sebuah penolakan terhadap sebuah kemapanan yang mereka yakini akan menjebak mereka ke dalam sebuah lautan komersilitas yang dilakukan oleh para kapitalis atau lebih dikenal dengan major label (Sukaryono, 2011). Dengan demikian grunge juga mengembangkan gerakan sosial perlawanan terhadap kemapanan industri musik kapitalisme.

Kurt Cobain dan Nirvana adalah dua hal pertama yang mungkin langsung terlintas ketika mendengar grunge. Di negara Indonesia, grunge memang kalah besar dan kurang bersinar apabila dibandingkan dengan komunitas subkultur lainnya seperti punk, rock, indie, atau bahkan k-pop sekalipun.

Ciri khas dari grunge ialah gaya hidup yang erat kaitannya dengan sampah. Mereka memilih untuk memakai pakaian bekas layak pakai dibanding membeli pakaian baru bermerek, makan dari sisa-sisa makanan, hidup berdasarkan tunjangan sosial atau mengamen, tidur dan mabuk di trotoar atau bangku-bangku taman, dan tindakan lainnya yang oleh masyarakat dianggap kurang pantas. Namun kebanyakan mereka yang memilih grunge tidak ingin disebut grunge jika dilihat dari latar belakang mereka yang buruk. Komunitas ini merasa lebih dihargai apabila publik melihat hidup mereka sebagai bentuk kesederhanaan, dan mengapresiasi karya mereka.

Di balik seluruh penjabaran tentang subculture grunge memiliki sisi positif yang juga baik untuk perkembangan musik seluruh dunia, budaya musik grunge merupakan sebuah solusi untuk anak muda Indonesia untuk terus berkreativitas dalam bermusik dan menjadikan gaya bermusik yang tidak biasa




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline