Lagi-lagi menyoal kaum berkebutuhan khusus. Orang-orang lebih sering menyebutnya dengan istilah "Difabel". Meski dalam husnuddhan penulis, para pembaca yang budiman telah tahu dan mengerti apa definisi dan hakikat "Difabel". Namun, perlu kiranya penulis ulik-ulik sedikit istilah tersebut dilihat dari penggunaannya dalam kosa kata bahasa Arab.
Dalam bahasa Arab klasik, penggunaan istilah "Difabel" selain meminjam kosa kata yang termaktub dalam Alquran, juga memakai istilah "al-'Ajz" yang berarti lemah. Sedang penyandangnya disebut dengan "al-'Ajiz" (orang yang lemah).
Beda halnya dengan bahasa Arab kontemporer, istilah yang disematkan untuk Disabilitas adalah "i'aqah". Kata ini secara literal mengandung arti "mencegah" atau "menghalangi, merintangi". Untuk penyandangnya disebut "al-Mu'aq" (plural: al-Mu'aqun). Bukan tanpa alasan, mereka disebut sedemikian rupa dikarenakan eksistensinya dalam berinteraksi dan bertransaksi dengan masyarakat sekitar kerap "tercegah" atau "terhalangi" oleh "keterbatasan" yang ada pada fisiknya.
Kalau kita mau menilik lebih jauh terhadap literatur historis, orang-orang berkebutuhan khusus pada masa pra Islam tidak sedikit memperoleh perlakuan yang tidak layak diperlakukan kepada sosok ciptaan Tuhan bernama manusia. Namun, setelah Islam muncul ke permukaan, mereka diposisikan dan memperoleh posisi yang proporsional layaknya manusia lain pada umumnya.
Mereka memiiki kewajiban dan hak yang sama, perlakuan yang sama, tidak ada bullying dan tindakan rasisme. Hal tersebut terbukti dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa faktor utama yang membedakan antara satu individu dengan individu yang lain, antara satu suku dengan suku lainnya adalah kualitas ketakwaan mereka pada Sang Pencipta.
"Sesungghunya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa". (QS. Al-Hujurat: 13)
Oleh karena mereka-mereka yang memiliki kebutuhan khusus juga sama dan tiada beda dengan manusia yang dianugerahi kelengkapan anggota tubuh beserta fungsinya. Maka segala macam kewajiban dan haknya, baik dari aspek ibadah, mu'amalah serta aspek yang lainnya, tidak ada perlakuan yang beda.
Meski, dalam beberapa kasus mereka diganjar dengan hukum syar'i yang tidak sama atau berkebalikan dengan hukum syar'i yang disandangkan pada manusia yang tak berkebutuhan khusus. Misal dalam hukum ketidaksahan seorang tunawicara menjadi Imam sholat karena ia tidak bisa men-tahammul bacaan fatihah makmumnya, seorang tunanetra tidak sah akad jual belinya menurut sebagian ulama dikarenakan ia tidak bisa mengetahui dengan baik barang dagangan yang akan ia beli dan lain sebagainya.
Demikianlah kalau kita memandangnya dari kacamata fikih, sebenarnya masih banyak hal yang patut menjadi perhatian lebih kepada segenap sanak saudara kita yang berkebutuhan khusus. Sebut saja kelengkapan dan terpenuhinya sarana atau fasilitas tempat ibadah yang ramah buat mereka, alat moda transportasi umum yang nyaman untuk mereka serta yang tak kalah urgen dan ini mesti diprioritaskan adalah kepedulian secara sosial dan ekonomi untuk kaum mereka yang papah.
Pemerintah diharapkan benar-benar membuka mata selebar-lebarnya untuk mereka. Mereka yang membutuhkan perhatian lebih dan khusus. Mereka yang butuh memperoleh kesempatan dan peluang yang sama dengan manusia lainnya.
The last, semoga pemerintah kita tidak menderita disabilitas yang sesungguhnya, yaitu mereka punya mata, tapi tak pernah mau melirik terhadap kesusahan dan kebutuhan rakyatnya. Mereka punya telinga, tapi enggan bahkan alergi untuk mendengar aspirasi 'tuan' (baca: rakyat) mereka. Bila itu yang terjadi, maka cukuplah firman Allah Swt dalam QS. Al-A'raf: 179 menjadi peringatan dan kecaman untuk para 'Difabel' kemashlatan rakyat.