Lihat ke Halaman Asli

Guruku Dekil, Kurus dan Cuek

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pelajaran yang paling berharga tidak selamanya datang dari ruang kelas yang full AC, buku-buku tebal nan mahal dan dari seorang yang bertitel professor atau doktor, tapi lebih banyak datang dari fenomena sehari-hari sejak pelopak mata terbuka hingga tertutup lagi, yang live di depan mata maupun di layar kaca.

Terjadi di bulan Ramadhan beberapa tahun silam dan benar-benar menjadi pembelajaran seumur hidupku.

Sudah hari ketiga aku membatalkan puasaku yang menurutku sesuai dengan yang diperkenankan oleh hukum syar'i, karena sakit. Ya, sakit kepala. Entah bagaimana asal muasalnya, sakit kepala itu datang menyerang tepat ketika jarum jam menunjukan pukul 11.00 dimana lambungku meronta-ronta meminta sesuatu untuk diisi agar dia ada kerjaan. Aku berdo'a "Allahumma bariklana fimarajaktana wakina ajabannar" bukan doa "Allahumma lakasumtu.......", dan ludeslah semangkuk supermie berpindah ke pundi-pundi lambung sehingga pompa jantung bekerja mengalirkan butiran-butiran darah menghangatkan setiap sendi-sendi tubuhku. Bibir pun menjadi ranum dan basah, mataku menjadi terang dan berbinar.

Aku sakit, namun usai "buka", aku lebih mendahulukan sebatang rokok ketimbang obat. Ya, obat adalah syarat sehingga hukum "sengaja" tidak berpuasa gugur karena sebab yang tepat. Tentu saja aku lakukan itu di kamar spesial, kamar tidur. Anak-anak pasti tidak tahu, karena begitu keluar kamar aku akan memainkan peran "orang taqwa".

Seperti biasa membuang waktu jenuh, aku suka memperhatikan mas Cokro (nama sebenarnya) menyelesaikan pesanan mebel di ruang kerja perusahaan furniture milik Yater, seorang Katolik yang toleran membatasi waktu kerja dari pukul 09.00 - 12.00 di bulan Ramadhan. Aku suka memperhatikan dan berdialog dengan Cokro karena meskipun sedang kerja dia tetap menjawab pertanyaanku dan tangannya sangat trampil, menyenangkan.

Walau sering bertemu, kali ini aku lebih tertarik mengamati fisik Cokro.  Celana pendek yang dipakainya semakin menampakan visual kurus. Lihat saja, dua batang kaki itu sangat sedikit berisi daging, relief dengkulnya sangat jelas. Dua batang tangannya pun berbanding lurus dengan kedua kaki. Tubuhnya? Ah, aku tak tega mendeskripsikan, namun dari gambaran tangan dan kaki akan sangat jelas bagaimana visual tubuh.

Sayang, ketika aku datang Cokro sudah berbenah dan akan beranjak pulang, karena jam beranjak ke pukul 12.00 siang.

"Udah mau pulang ya mas Cokro?"

"Iya pak." Cokro menjawab, cuek.

"Enak ya, habis kerja, pulang dan makan." Aku ngomong sekenanya.

Tiba-tiba Cokro menatapku tajam. Sungguh, entah kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat takut. Mata sipit seperti mata ikan, cekung dan jelas kurang gizi itu seakan merasuk ke relung-relung tubuhku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline