Lihat ke Halaman Asli

35 Menit di Kedai Cokelat

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Usai kelas “Make Decision” aku putuskan untuk pulang ke Apartement. Kurang enak badan. Abdul dan Victor sudah menahanku beberapa kali. Mereka ingin aku ikut ke bioskop sore itu. Nonton Film-nya aku tidak keberatan, Cuma kalau sudah Nicole dan Viana ikut, ngobrolnya jadi panjang. Dua tuan putri itu punya karakter rada-rada mirip. Keduanya melankolis. Nggak bisa lihat rinai hujan di Darling Harbor, bisa-bisa awan hitam pekat dibilang jingga oleh mereka. Kalau dibiarkan dan kita nggak bisa menahan mereka, kita bisa melihat mereka berdua basah kuyup nyemplung ke laut.

Perubahan cuaca di Sydney sulit untuk diperkirakan saat ini. Sama seperti Amsterdam saat ini, temanku Dina yang sedang kuliah disana kemarin chating via Facebook bilang kadang lima menit panas, lima menit hujan, untung nya Sydney nggak separah itu. Cuma hujannya bisa 2 Jam. Gimana kalau Jakarta kalau hujan selama itu nggak berhenti-henti ya. Aku nggak bisa bayangkan itu. Pasti tempat kontrakan ku dulu di tepian Ciliwung airnya meluap sampai jauh.

Abdul, Victor, Nicole dan Viana adalah teman-teman seangkatanku di kampus. Hanya Nicole yang bukan dari Indonesia. Victor dan Viana anak Jakarta, sedangkan Abdul dari Bogor. Nicole dia datang dari Slovakia. Musim hujan begini, biasanya udara siang hari bisa 7 derajat celsius.

Diantara kita berlima hanya Nicole lah wanita yang paling tahan dingin. Wajar sih, kata dia Sydney belum seberapa dibanding Slovakia. Di Sydney kita nggak bisa temui Salju, sedangkan di Slovakia sampai kita nggak bisa jalan karena salju yang menunmpuk di Jalan.

Suatu waktu kami pernah taruhan siapa diantara kita yang paling tahan yang nggak pake baju dingin. Nicole lah pemenangnya. Kita berempat datang ke kampus dengan pake baju satu lembar dan itupun kita pake yang paling tebal. Waktu itu kuliah sudah di mulai sekitar setengah jam. Tiba-tiba Nicole datang terlambat dan langsung masuk pake baju tidur. Semua terbelalak nggak terkecuali si Bruce sang dosen. Gimana nggak terbelalak baju tidur di bawa ke kampus.

Nicole memang wanita yang sangat suka tantangan. Kalau kita sedang tidak punya rokok, biasanya Nicole dan Viana yang kita suruh maju untuk meminta kepada pejalan kaki yang sedang merokok, lumayan untuk mengusir dingin. Victor juga termasuk orang yang nekat, tapi diantara kita berlima hanya dia yang tidak merokok. Jadi dia kurang suka dengan tantangan merayu orang untuk mendapatkan rokok.

Aku turuni tangga disamping Myer Mall menuju “kota bawah tanah” (hanya aku yang menamainya), saat tiba di Sydney pertama kali aku langsung kagum dengan tempat ini. Adanya di bawah tanah tepat di tengah kota, perekonomian di bawah tanah ini sangat luar biasa. Dari segala barang ada di sana. Memanjang hingga town hall.

Kalau kita turun ke bawah Myer Mall ini kita akan dapati dua lantai ke bawah. Kita seperti mendapati kehidupan yang sama seperti di atas sana. Seperti film animasi terkenal yang menggambarkan kehidupan semut di bawah tanah ’ant’ Kita akan temui Pujasera (tempat orang ngumpul makan) segala macam makan ada di sana. Dari makanan India, Malaysia, Eropa, Junk Food bahkan sampai Nasi Padang pun ada. Ya, disanalah tempat kita biasa ngumpul makan siang.

Aku meneruskan langkahku menuju Town Hall tempat biasa aku naik kereta. Senarnya bisa lewat Stasiun lama dekat Catedrall. Karena Asep temanku satu kost minta di belikan anggur, terpaksa aku harus ke Town Hall, karena di Town Hall ada supermarket dan di sana lah tempatnya buah-buahan murah.

Dingin hari itu membuat kaki ku berkeringat. Aku pindahkan ransel ke depan dadaku untuk menahan terpaan angin dari depan. Pemanas yang berada di bawah tanah itu masih kalah dengan angin yang masuk. Sesekali uap kulihat samar-samar keluar dari hidung dan mulutku saat aku bernafas. Aku melangkah sambil mendengarkan Instrumentalia ”Moving-Secret Garden” di earphone ku.

Aroma bawah tanah memang agak berbeda. Aroma Lavender sangat kuat mampir di hidung, sesekali aku merasakan aroma kopi yang baunya hanya aku temui saat di Starbuck atau Bakoel Kopi saat aku di Indonesia. Cafe cafe yang dipadati pengunjung utamanya wisatawan berada di tengah korideor jalan di bawah tanah ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline