Lihat ke Halaman Asli

Renungan Kemerdekaan

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penyakit sebagian besar umat Islam saat ini adalah mudah menyalahkan orang lain. Seperti, gara-gara AS kita menjadi lemah, gara-gara Belanda, gara-gara ini itu dan lainnya,tanpa mau introspeksi kekurangan diri.

Padahal semenjak zaman Nabi, Islam sudah tumbuh dan menguat walau di bawah tekanan musuh, Kafir Quraisy, Yahudi dan lainnya. Kondisi Islam pada saat zaman Nabi adalah, ada musuh atau tak ada musuh, Islam tetap maju, sedangkan gambaran yang tepat bagi ummat saat ini adalah, ada musuh kita dijajah, tak ada musuh kita saling menjajah.

Jamaluddin Al-Afghani pernah menggambarkan Islam saat ini dengan mengatakan, "Al-Islam Qabilatun lil istismar"  artinya, Islam layak untuk dijajah. Seperti tau banyak pencuri tapi keluar rumah pintunya tak dikunci.

Sama halnya dengan tanah air kita, secara kedaulatan mungkin memang kita telah merdeka. Tapi secara ekonomi, politik dan mentalitas, kita masih terjajah. Meminjam istilah Al-Afghani, Al andunisia qabilatun lil istiatsmar, Indonesia memberikan kesempatan untuk dijajah. Konvoi panser dan pasukan militer Belanda atau Jepang memang tak lagi berbaris di jalan-jalan kita. Tapi lihatlah, perpecahan antar kampung, antar suku, antar agama masih menjadi fenomena.

Garakan Romusa memang sudah tidak ada. Tapi lihatlah fenomena yang kaya makin kaya yang miskin makin melarat, yang saudagar menginjak rakyat biasa, pejabat korupsi sudah biasa.

Memang tak ada lagi istilah orang dilarang sekolah atau wanita hanya cukup di rumah, tapi biaya pendidikan mahalnya selangit. Wanita sudah diberikan hak pendidikan selayaknya, tapi tak sedikit yang pikirannya telah dicuci. Bangga dan berani tampil seksi padahal sedang dieksploitasi.

Rempah-rempah dan barang tambang tak lagi dikeruk dan dikirim ke Eropa atas nama Belanda atau VOC. Tapi dengan alasan kita tidak bisa mengelola SDA sendiri nampaknya memang kita perlu perusahaan asing yang mengelola. Tapi, lagi-lagi kita rela hanya dikasih keuntungan seuprit, itupun tak merata sampai ke tangan rakyat, dan sebagian besar hanya dinikmati para penguasa.

Belum lagi kerusakan alam akibat ekplorasi. Tengoklah gunung dan bebukitan di Irian Jaya yang kini menyisakan kawah raksasa, memang ia memberikan sumber devisa dan keuntungan yang melimpah tapi untuk siapa?! Tengoklah masyarakat Papua seperti apa, sebagian besarnya hidup dalam garis kemiskinan. jauh dari fasilitas yang memadai.

Pemerintah banyak mengimpor barang bahan pangan dari luar, implikasinya hasil petani kita tak banyak laku. Banyak pengrajin dan produk hasil karya pribumi, tapi tetep saja pemerintah memesannya dari luar negeri.

Sekarang memang tak ada lagi kerajaan Islam yang bersengketa karena perebutan kekuasaan, lalu salahsatunya meminta bantuan kepada Belanda. Tapi saat ini tak jarang banyak kelompok-kelompok pesanan, yang covernya agama, budaya, nasionalisme dan banyak lagi, tapi tujuannya hanya satu, agar kita tidak betah bersatu.

Walaupun demikian, mari kita tetap bersyukur, semoga Allah memberikan kesempatan yang lebih baik, kemerdekaan yang lebih baik, dan kemenangan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline