Kata "penjajah" dalam kamus Bahasa Baku Bahasa Indonesia diartikan sebagai negeri (bangsa) yang menjajah: dengan kekuatan senjata akhirnya kaum ~ itu berhasil menguasai daerah itu; atau orang yang terlalu menguasai (menindas dan sebagainya) orang lain (bawahan dan sebagainya). Maka tak heran jika mendengar atau membaca kata penjajah dan turunannya orang akan dengan serta merta menghubungkannya dengan "kekuasaan", "menguasai", "menindas" atau kata lain yang selaras maknanya dengan itu.
Penjajah tampaknya memang memiliki makna yang relatif negatif baik berurusan dengan pranata sosial, bangsa, jabatan maupun hubungan antar individual.
Sedangkan "akal" kerap dipandang sebagai sandaran berpikir logis manusia yang berdampak kepada kemampuan intelektualitas, kecerdasan, kesadaran kolektif maupun individual. Karena akal lah yang membedakan manusia dengan makhluk lain di muka bumi ini. Dengan akal pula, manusia mampu mengenali beragam simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis, membandingkan, maupun membuat sebuah simpulan dan akhirnya mampu membedakan antara yang betul atau salah.
"Akal" merupakan perangkat utama dalam perkembangan ilmu, sains dan teknologi. Tetapi untuk menghasil putusan, pilihan atau ketetapan yang "hebat" akal tidak berdiri sendiri. Akal memerlukan "entitas" lain sebagai penyeimbang yang bersifat lebih humanistik. Oleh karena itu dalam memutuskan sesuatu manusia perlu mendengar atau memperhatikan kata hati atau naluri bahkan tata nilai yang kerap bersifat abstrak.
Kekuatan di luar akal, sebut saja "naluri" acap kali menjadi andalan manusia dalam memutuskan beragam hal. Bahkan "keyakinan" manusia terhadap masalah yang berkaitan dengan spritualisme juga diwarnai oleh beragam hal yang relatif sulit dijabarkan dengan "perhitungan akal".
Rupanya di zaman yang sudah super modern seperti ini, manusia masih yakin atau percaya akan adanya "suatu kekuatan" yang merancang alam semesta ini dan mengatur perjalanan setiap jengkal kehidupan. Meskipun itu di luar jangkauan akal dan pancainderanya.
Ini tidak berarti bahwa peran akal bisa diabaikan, karena bukankah manusia diciptakan di muka bumi untuk menjadi Khalifah dalam rangka untuk menegakkan hukum dan menerapkan ketetapan Sang Pemilik Bumi dan Langit? Dari banyak sumber dinyatakan frasa "menjadi Khalifah" mengandung makna bahwa Sang Khalik menciptakan manusia agar menjadi wakil atau pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia. Tentu saja dalam melaksanakan tugas tersebut harus mengikuti segala aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Mengingat tugas tersebut tidak mudah, Sang Pemberi tugas melengkapinya dengan akal. Tetapi manusia niscaya gagal, cepat atau lambat, jika semua prilaku atau pemikiran hanya diandalkan kepada akal tanpa mempertimbangkan persoalan moral dan etika serta mengabaikan "hati nurani". Hati nurani merupakan penyumbang terbesar dalam menghasilkan pikiran baik, manusiawi, berkeadilan atau tidak.
Jika mengabaikan hati nurani dan hanya bersandar pada akal maka bisa jadi akal akan menjajah manusia dan membawa manusia pada tempat yang paling rendah. Sangat tidak mengherankan karena akal dan logika memang tidak mampu meliputi semua atau menjamin seluruh kebenaran karena akal hanya mampu menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Oleh karena itu perpaduan antara akal dan nurani merupakan sinergi akan menghasilkan sesuatu yang berkepatan tinggi dan humasnistik. Jangan biarkan akal menguasai dan menjajah pikira manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H