Aku cinta padamu dua macam cinta
Cinta rindu
dan cinta karena engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta, karena Engkau
Hanya Engkau yang aku kenang
Tiada yang lain
Adapun cinta karena Engkau berhak menerimanya
Agar Engkau bukakan aku hijab
Supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi Mu sendiri
(Rabi'ah al-Adawiyyah)
Saya tidak mampu membayangkan jika sekarang ada sosok perempuan seperti Rabi'ah al-Adawiyyah. Rabi'ah al Adawiyah terlahir dengan nama Hazrat Rabia al-Adawiyya al-Qaysiyya, adalah seorang penyair sufi (lahir sekitar 95-99 Hijriah di Bashrah, Irak). Ia dikenal dengan konsep mahabbah-nya, yaitu konsep yang menyatakan kecintaan seorang hamba kepada Tuhan tanpa syarat. Ia tidak pernah berharap surga atau neraka karena menurutnya, ketulusan cinta harus tidak berharap balas. Begitu mendalam cintanya kepada Tuhan membuat Rabi'ah tidak tertarik sama sekali kepada kehidupan duniawi.
Tahun berganti, abad bergulir, zaman berubah. Namun rasa cinta kala lampau dan kala kini tidak berubah, tetap terus bersemayan di hati manusia. Cinta Rabi'ah yang tak bersyarat dengan cinta manusia kala kini bisa jadi sama, tidak berbeda. Tetapi tampaknya kepada siapa cinta itu ditujukan sangat jauh berbeda. Rabi'ah bicara persoalan cinta pada tataran celestial sedangkan manusia pada tataran terrestrial.
Kemajuan zaman yang begitu cepat membuat manusia menjadi "tak sadarkan diri" karena terus mengejar rencana-rencana berbasis ketercapaian duniawi. Bukan karena sengaja menganggap dunia sebagai tujuan utama, tetapi situasi seakan-akan membawanya ke dalam perlombaan untuk memperebutkan "pengakuan" melalui gelar akademik, jabatan, harta, kekuasaan dan lainnya. Jika berhasil, maka Ia seakan menjadi pemenang versi dunia.
Sesungguhnya semua orang pasti menyadari bahwa pada akhirnya kisah hidup manusia di dunia akan terhenti oleh kematian, tetapi tidak semua orang "menyadari" bahwa upaya-upaya di dunia mejadi sarana untuk terbang ke langit karena dunia beserta isinya merupakan perantara menuju keabadian. Jadi upaya yang dilakukan manusia di dunia mampu menjadi tangga ke langit atau bisa sangat mungkin hanya "laku" di dunia.
Dunia yang semakin maju membuat manusia terbawa oleh kehirukpikukannya. Dunia memanjakan hidup sekaligus menenggelamkan manusia. Cinta adalah fitrah manusia dan merupakan anugerah Ilahi. Namun jika "cinta kepada dunia" berlebihan maka kerap menjadi penyebab beragam masalah kemanusian. Apalagi jika cinta hanya bersandar pada hal-hal yang bersifat materialistik dan hedonis.
Oleh karena itu manusia harus mampu membaca lukisan alam, bukan dengan menggunakan mata biasa tetapi mati hati. Manusia perlu terus mengasah kesadaran nurani dan menajamkan energi spritualnya untuk menyeimbangkan hidup. Memang tidak terlalu mudah karena harus berpacu, berlomba dan mengalahkan kenikmatan dan hiasan yang menggoda di alam yang tampak lebih nyata.
Kembali lagi, saya membayangkan jika Rabi'ah al-Adawiyyah hidup di masa kini. Mungkinkah cinta tak bersyarat Rabi'ah kepada Sang Pemilik akan tergerus oleh nikmatnya dunia atau Ia bertahan hanya kepadaNya cinta itu Ia labuhkan. Tetapi yang jelas, kala itu Rabi'ah sudah membuktikan keikhlasan cinta kepadaNya dan tidak menyisakan ruang kosong untuk makhluk lain atau apapun juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H