Lihat ke Halaman Asli

Irna Djajadiningrat

Pegiat Literasi

PSBB Jakarta dan Prilaku Sosial

Diperbarui: 14 September 2020   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak mengherankan jika Jakarta menerapkan kembali PSBB mulai hari ini. Artinya PSBB transisi yang sebelumnya berlaku di Jakarta dicabut dan diganti dengan PSBB ketat.

Jika diamati mulai PSBB pertama yang diberlakukan tanggal 10 April 2020, diikuti dengan PSBB-PSBB berikutnya, jumlah kasus Covid-19 memang cenderung fluktuatif dan pada akhirnya mulai melandai. Tetapi begitu DKI Jakarta memberlakukan  PSBB Transisi, alih-alih melandai, jumlah kasus semakin meningkat bahkan mencapai “rekor” kasus terbanyak beberapa hari yang lalu. Alasan untuk ini tentu banyak, mulai dari tes swab yang masif sampai dengan kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.

Di awal penetapan masa PSBB Transisi, Pemda DKI menyatakan bahwa masa tersebut merupakan masa pembiasaan menuju pola hidup aman, sehat, dan produktif. Oleh karena itu diharapkan masyarakat “belajar” hidup berdamai dengan Covid-19 dengan selalu memperhatikan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.

Kegagalan Jakarta menekan jumlah kasus baru Covid-19 pada masa PSBB transisi menggambarkan gagalnya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah tidak ajeg dan kerap dianggap main-main saja menerapkan “ancaman” hukuman bagi pelanggar aturan. Belum lagi pembiaran terhadap “kerumunan masa” yang sudah barang tentu sulit untuk diminta tetap menjaga jarak raga (physical distancing).

Sedangkan sumbangan masyarakat terhadap meningkatnya kasus Covid-19 adalah prilaku sosial yang tampak “aji mumpung”.  Misalnya makan bersama di kantor karena aktivitas kerja sudah dibuka kembali atau bertemu raga untuk “ngopi bareng”,  bahkan berduyun-duyun menuju pusat perbelajaan,  memenuhi tempat-tempat hiburan atau pariwisata dengan tentu saja  mengabaikan jarak raga, dan bagaimana mungkin dapat meningkatan kekerapan mencuci tangan jika berada dalam kerumunan.  

Prilaku sosial masyarakat kota Jakarta yang relatif senang berkumpul dan "hangat" yang tertahan pada masa-masa PSBB seakan-akan terbebas, melepas rasa rindu dari berbagai batasan pada masa PSBB transisi.  Tak ayal lagi bermunculan klaster perkantoran yang berlanjut ke rumah atau keluarga.

Oleh karena itu, benar adanya pemerintah Provinsi Jakarta perlu melakukan langkah yang lebih agresif dalam menerapkan aturan PSBB secara konsisten dan terus berkoordinasi dengan kota-kota penyangganya.

Untuk menekan jumlah kasus Covid-19 di Jakarta, masyarakat diharapkan lebih berdisiplin dengan tetap berpedoman kepada protokol kesehatan, tidak perlu keluar rumah jika tidak sangat penting tetapi tetap menjalin silaturahim secara maya atau virtual. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama kita dapat segera mengembangkan kembali sisi kemanusiaan kita dengan bertemu raga, berbicang dan saling mengunjungi.

Tentu tidak mudah jika pilihan kebijakannya antara nyawa dan selamatkan perekonomian, bagaikan simalakama. Tetaplah  bersemangat seraya kita terus berdoa kepada Sang Pemilik bumi dan langit.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline