Lihat ke Halaman Asli

Irmina Gultom

TERVERIFIKASI

Apoteker

Dilema Kala Isu Gangguan Ginjal Akut dan Cemaran DEG/EG pada Produk Obat Sirop

Diperbarui: 25 Oktober 2022   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi obat sirop (Sumber: 8photo via freepik.com)

Isu tentang obat sirop kali ini betul-betul gaduh. Berawal dari laporan kematian puluhan anak-anak di Gambia -- Afrika Barat akibat AKI (Acute Kidney Injury / Gangguan Ginjal Akut), diduga disebabkan oleh cemaran berlebih senyawa Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol (EG) dalam produk obat demam/batuk berbentuk sirop.

Produk obat tersebut antara lain Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempatnya diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, India. Dan sesuai penjelasan yang dirilis oleh BPOM RI, keempat produk tersebut maupun produk lainnya yang diproduksi Maiden tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia.

Selain kasus Gambia tersebut, muncul juga laporan kasus meninggalnya puluhan anak di Indonesia diduga akibat gangguan ginjal misterius. Mayoritas anak meninggal disebabkan karena fungsi ginjal menurun dan terlambat sampai di rumah sakit untuk memperoleh penanganan. Kecurigaan pun timbul apakah kasus gangguan ginjal akut pada anak-anak di Indonesia ini ada kaitannya dengan produk obat sirop seperti yang terjadi di Gambia.

Antara Tindakan Preventif vs Kebutuhan Pasien & Kerugian Pelaku Usaha

Sebagai tindakan pencegahan dan kehati-hatian, Kementerian Kesehatan pun akhirnya menginstruksikan agar tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak meresepkan obat dalam bentuk sediaan cair/sirop. Selain itu sarana apotek diminta untuk tidak menjual obat sirop. 

Ini artinya semua obat sirop, terlepas apakah obat sirop itu untuk mengatasi demam/batuk/pilek atau penyakit lainnya. Maka risiko selanjutnya adalah kemungkinan terjadinya kelangkaan produk obat sirop di pasar. Akibatnya, kegaduhan pun sempat terjadi.

Saya paham dan yakin bahwa tindakan tersebut tujuannya baik dan diambil sebagai langkah antisipasi untuk meminimalisir risiko. Tapi nyatanya instruksi ini juga menimbulkan dilema.

Pasien yang mengkonsumsi obat sirop umumnya adalah anak-anak karena rasanya yang manis. Tidak semua anak bisa minum obat berbentuk sediaan tablet/kapsul. Sediaan puyer biasanya dicampur dengan air, tapi tidak semua anak juga bisa minum karena rasanya pahit. Selain itu tidak semua obat bisa/boleh digerus untuk dijadikan puyer.

Info dari beberapa rekan sejawat saya yang bekerja di instalasi farmasi fasilitas pelayanan kesehatan, mereka diinstruksikan untuk tidak memberikan obat oral dalam bentuk cair (sirop, suspensi, drop, dan lainnya). Akibatnya mereka pun kebingungan jika ingin memberi obat untuk bayi hingga balita,karena obat yang diberikan umumnya berbentuk oral drop (diberikan dengan cara ditetes). Beberapa obat seperti obat demam mungkin bisa diganti ke bentuk sediaan suppositoria (dimasukkan ke dalam dubur), tapi tentu tidak semua jenis obat bisa dibuat / tersedia dalam bentuk suppositoria.

Selain kerugian dari sisi pasien, para pelaku usaha di bidang produksi dan distribusi obat pun juga terpengaruh. Produsen obat yang memproduksi sediaan sirop kalang kabut karena itu berarti seluruh produk sirop mereka yang sudah beredar terpaksa dihentikan sementara pada seluruh rantai distribusi. Dan itu berarti, produk yang baru selesai diproduksi juga berpotensi menumpuk di gudang karena tidak bisa didistribusikan.

Selain produsen, sarana distribusi hingga sarana ritel juga harap-harap cemas karena cash flow mereka juga pasti akan terganggu jika produk tidak bisa disalurkan. Terbayang kan betapa bingungnya para tenaga kesehatan di lapangan dan masyarakat umum, dan berapa kerugian ekonomi yang mungkin terjadi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline