Lihat ke Halaman Asli

Irmina Gultom

TERVERIFIKASI

Apoteker

[Resensi] Tanah Tabu

Diperbarui: 12 Juni 2021   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

"Keinginan Mace-ku tentu saja jauh berbeda dari keinginan para ibu teman-temanku, terutama Yosi. Bukan rahasia lagi kalau mereka sangat berharap anak mereka menjadi pengantin perempuan yang beruntung, tanpa peduli betapa jelek, kurus, atau bungkuk anak mereka karena terlalu sering membawa beban di kepala. Keberuntungan itu sudah pasti datangnya, menurut mereka, yaitu dari seorang lelaki kaya dan terhormat; tanpa peduli masih muda dan suka mabuk, atau sudah tua dan beristri banyak. Kemiskinan membuat harapan tersebut bagai rapal mantra yang tak bosan diulang dengan keyakinan akan menjadi nyata suatu hari nanti." - Tanah Tabu.

Betapapun saya begitu seringnya mendengar keindahan tanah Papua di wilayah timur Indonesia, hingga saat ini saya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Menikmati pertunjukkan musik tradisional dan melihat dari dekat budaya suku Dani di Lembah Baliem, gletser di Taman Nasional Lorentz, cantiknya Desa Wisata Sauwandarek, dan pastinya Raja Ampat yang tersohor. Semoga suatu saat saya berkesempatan menyaksikannya langsung.

Jadi untuk sementara ini, saya harus puas dengan melihat foto dan membaca saja. Dan kebetulan ada satu buku yang judul dan sampulnya menarik perhatian saya. Lumayan bikin penasaran juga meskipun saya hampir yakin isinya tidak membahas tentang keindahan pariwisata Papua. Gambar seorang anak kecil berkulit hitam manis dengan rambut dikepang tulang, membuat saya menduga buku ini menceritakan kisah seorang anak dari tanah Papua.

Blurb

Sesuai dugaan, buku ini mengisahkan kehidupan seorang anak kecil bernama Leksi yang diasuh oleh ibu (yang dipanggilnya Mace) dan neneknya (yang dipanggilnya Mabel) dalam kehidupan yang sederhana.

Tidak seperti ibu-ibu lainnya, Mace dan Mabel tidak ingin Leksi tumbuh besar hanya untuk menikah dengan pria kaya dengan harapan dapat mengeluarkannya dari garis kemiskinan. Berdasarkan pengalaman mereka dahulu, pernikahan dini hanya akan membawa kerugian bagi pihak perempuan.

Pria seakan-akan bebas melakukan apa saja, sementara wanita hanya boleh melahirkan, mengurus rumah tangga termasuk keperluan anak dan melayani suami. Pada saat itu kekerasan dalam rumah tangga juga sudah seperti sesuatu yang biasa dan lumrah untuk dialami seorang wanita. Dan sayangnya hal itu membuat wanita kesulitan untuk membela diri, apalagi memperoleh pertolongan dari pihak luar. Contohnya seperti apa yang dialami oleh ibunya Yosi.

Oleh sebab itulah Mace dan Mabel memasukkan Leksi ke sebuah sekolah untuk belajar, meskipun sebenarnya Leksi lebih suka bermain dengan Yosi yang tinggal di sebelah rumah mereka. Mace dan Mabel menanamkan pemikiran kepada Leksi bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang untuk bebas dari kemiskinan dan penindasan adalah dengan memperoleh pendidikan.

Rekomendasi

Sebenarnya saya agak bingung ketika membaca bab pertama. Isinya penuh dengan deskripsi dari sudut pandang yang bernama 'Pum'. Namun ternyata ini adalah gaya si penulis dalam menyampaikan ceritanya yang justru membuat kisahnya jadi unik dan menarik. Ya, kisah kehidupan Leksi, Mace, Mabel dan tokoh-tokoh lainnya disampaikan melalui tiga sudut pandang yakni, Leksi dan dua ekor anjingnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline