Desember 2019, saya mendarat di Bandar Udara Internasional Silangit di Siborong-borong sekitar pukul sebelas siang. Hari itu saya kembali mengunjungi kampung halaman orangtua saya di Toba setelah kunjungan terakhir di tahun 2016.
Ada perbedaan yang cukup signifikan saat saya melihat bandara tersebut tiga tahun lalu, di mana saat itu bandar udara masih belum lama diaktifkan kembali, sehingga penampakannya masih seadanya dan lebih mirip terminal bus daripada bandara.
Tapi saat saya tiba di sana kemarin, suasananya sudah berubah. Bandara sudah lebih rapi dan tampak lebih modern karena desain eksteriornya sudah diperbaiki. Ruang tunggu dan area kedatangan sudah full AC, bahkan toilet-nya pun sudah seperti di mal-mal Jakarta.
Meski begitu, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ruang pengambilan bagasi yang tampaknya masih berupa bangunan darurat. Sistem pengambilan bagasinya pun dengan cara dipanggil satu per satu. Dan setelah coba diperhatikan, saya pun cukup maklum.
Rupanya karena conveyor belt-nya cukup pendek, sehingga terjadi penumpukkan bagasi di ujungnya. Mau tak mau di bagian ujung ada petugas yang standby untuk menurunkan koper yang belum ada pemiliknya.
Dengan sabar, petugas tersebut memanggil nama-nama yang tertera pada koper supaya bisa segera diambil oleh yang punya.
Termasuk saya yang menunggu nama saya dipanggil seperti diabsen guru kelas waktu SD dulu. Hihihi.. lucu juga sih. Oke, tapi cerita saya kali ini bukan mau membahas soal bandara, jadi saya lanjutkan ya.
Hari itu saya dijemput oleh Ito (panggilan terhadap sepupu laki-laki saya) dan Tulang (saudara laki-laki dari pihak Mama) yang kebetulan sudah lebih dulu sampai di sana.
Sepanjang jalan, salah satu pemandangan khas yang saya temui adalah banyaknya makam dan tugu marga yang berdiri di sisi kanan dan kiri jalan. Pemandangan seperti ini akan sering kita temui saat berkunjung ke Sumatra Utara.
Dulu saya tidak begitu memperhatikan, apalagi repot-repot untuk mencari tahu makna dibaliknya. Yang ada di pikiran saya waktu dulu hanyalah, betapa bagus dan besarnya makam orang Batak di sana.
Dan entah berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk makam sebesar itu. Apalagi jika full keramik dan memakai hiasan seperti tiruan atap jabu bolon hingga patung yang menggambarkan leluhur.