Hari Raya Nyepi identik dengan kesunyian dan ketenangan. Umat Hindu yang merayakan Nyepi tidak diperbolehkan menyalakan api dan penerangan, tidak ada aktivitas atau pekerjaan, maupun menikmati hiburan. Selama hari raya tersebut umat Hindu akan menenangkan diri dan berintrospeksi.
DI Bali, biasanya sebelum hari raya Nyepi dimulai, akan diadakan pawai Ogoh-Ogoh. Dan tidak hanya di Bali, di Jakarta pun kita bisa melihat pawai Ogoh-Ogoh ini. Sejak satu minggu yang lalu, saya sudah merencanakan untuk menyaksikan kemeriahannya secara langsung dalam Festival Ogoh-Ogoh yang diadakan di pantai Lagoon Ancol pada hari Minggu kemarin, sebagai bagian dari peringatan Hari Raya Nyepi. Dan rupaya acara ini pertama kali diadakan di Jakarta.
Dalam tradisi Bali, Ogoh-Ogoh sejatinya merupakan karya seni patung yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala yang merupakan makhluk mitologi Bali. Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan "Bhu" (alam semesta) dan "Kala" (waktu). Patung ini terbuat dari berbagai macam bahan, mulai dari sterofoam, kayu, plastik, bambu dan sebagainya.
Dan supaya tampak lebih hidup, Ogoh-Ogoh akan diberi aksesoris pendukung dan dicat sedemikian rupa dengan warna-warna terang. Ukuran Ogoh-Ogoh biasanya tergolong besar. Patung Ogoh-Ogoh akan di letakkan di atas rangkaian bambu berbentuk persegi sehingga bisa diangkat oleh sejumlah orang. Perlu waktu sekitar satu bulan lebih untuk membuat Ogoh-Ogoh ini.
Secara filosofis, Ogoh-Ogoh mewakili sifat-sifat buruk dan negatif manusia. Di Bali, Ogoh-Ogoh diarak keliling desa pada senja hari sebelum Nyepi (Pengrupukan) dengan maksud agar kekuatan negatif yang berada dalam desa tersebut ikut terbawa bersama Ogoh-Ogoh. Pada akhirnya, Ogoh-Ogoh akan dibakar dengan harapan seluruh sifat buruk manusia juga ikut terbakar sehingga manusia kembali siap untuk memasuki kehidupan yang baru.
Ada sekitar enam Ogoh-Ogoh yang ditampilkan dengan mengangkat tema yang berbeda. Ogoh-Ogoh ini berasal dari berbagai Banjar di daerah Banten. Dan kalau saya lihat dalam perayaan kemarin, Ogoh-Ogoh yang ditampilkan benar-benar berukuran raksasa dan kabarnya beratnya mencapai ratusan kilogram!
Tak heran dibutuhkan lebih dari sepuluh orang untuk mengangkatnya. Bisa dibayangkan kan betapa beratnya Ogoh-Ogoh ini? Tapi yang membuat saya lebih kagum adalah, kekompakkan instruktur dan para pemuda yang mengangkut Ogoh-Ogoh karena mereka tidak hanya sekadar mengangkat, melainkan juga menggoyang dan memutar Ogoh-Ogoh tersebut kesana kemari. Belum lagi area pertunjukkan yang beralaskan pasir pantai.
Pertunjukkan Ogoh-Ogoh kemarin dikemas dengan tari-tarian yang dibawakan oleh para penari Bali yang cantik-cantik diiringi oleh musik tradisional Bali, lengkap dengan cerita Tirta Amertha (air suci) yang kabarnya dapat membuat orang yang meminumnya memperoleh hidup abadi.
Perebutan Tirta Amertha oleh para dewa dan raksasa akhirnya menimbulkan perang di antara mereka. Cerita singkat Tirtha Amertha ini dibawakan oleh dalang yang bertugas sekaligus sebagai pembawa acara (MC), dan setelah itu barulah pertunjukkan dimulai.
Meskipun diterpa panas terik matahari dan udara laut yang lembab, antusiasme pengunjung, para kuli tinta dan fotografer profesional yang menyaksikan acara ini tidak surut sedikitpun. Hal ini ditunjukkan ketika panitia harus berkali-kali memperingatkan mereka untuk tidak melewati batas area sudah ditetapkan. Dan bagi saya acara ini tentunya sangat bermanfaat sebagai salah satu upaya memperkenalkan budaya dan kearifan lokal Bali di Jakarta. Faktanya, tidak semua orang di Jakarta berkesempatan ke Bali pada hari-hari raya tertentu.
Setelah seluruh Ogoh-Ogoh ditampilkan, acara ditutup dengan penampilan Tari Kecak. Awalnya saya sempat mengira Tari Kecak yang ditampilkan akan seperti pertunjukkan di Pura Uluwatu, karena para penarinya tampak seperti yang saya lihat di Uluwatu. Namun ternyata penari yang diturunkan hanya sekitar seperempatnya saja. Dan ceritanya pun tidak selesai, yakni berakhir ketika SInta dibawa kabur oleh Rahwana. Meski begitu, saya paham hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan waktu dan lokasi acara.