Masih dalam suasana Hari Wanita Internasional (International Women's Day) yang baru saja diperingati kemarin 8 Maret 2018, saya jadi kepingin ikut menuangkan pemikiran saya mengenai hari yang bersejarah ini. Apalagi setelah begitu banyak artikel yang membahas soal refleksi Hari Wanita Internasional ini. Berbagai macam ulasan dan pendapat terkait emansipasi wanita tumpah ruah dalam artikel-artikel di portal berita online, termasuk di Kompasiana juga.
Begitu hebohnya peringatan ini sampai saya penasaran sendiri dengan latar belakang ditetapkannya Hari Wanita Internasional ini. Dan rupanya semua berawal dari aksi protes para pekerja garmen wanita di New York pada tahun 1900an, menuntut kondisi kerja yang lebih baik. Sebagai bentuk penghormatan, tanggal 28 Februari diusulkan oleh Partai Sosialis Amerika untuk ditetapkan sebagai Hari Wanita Nasional.
Selama beberapa tahun kemudian, Hari Wanita Internasional sempat berubah-ubah. Tanggal 19 Maret pernah ditetapkan juga sebagai Hari Wanita Internasional sebagai hasil dari konferensi yang diadakan di Kopenhagen, Denmark. Akhirnya aksi demonstrasi para wanita tanggal 8 Maret 1914 untuk menentang Perang Dunia I, diperingati sebagai Hari Wanita Internasional hingga saat ini.
Lalu apa sih yang diharapkan dengan adanya peringatan ini? Boleh dibilang, tren opini yang berkembang dan digembar-gemborkan terkait Hari Wanita Internasional ini mayoritas berkaitan dengan kebangkitan wanita. Pokonya wanita harus bangkit, jangan mau ditindas dan tunduk pada kaum pria, wanita tidak boleh malu menujukkan sisi dominannya dalam berkarir maupun berelasi dengan lawan jenis, wanita harus berani mandiri bahkan tidak boleh bergantung kaum pria, wanita harus serbabisa alias multitasking, wanita harus bisa menjadi pemimpin, pokoknya wanita harus HUEBAT bin SETRONG! Kalau perlu kedudukannya melebihi pria.
Well, keren sih memang. Tapi kok saya jadi merasa seruan-seruan ini sering diartikan secara berlebihan sehingga malah membuat wanita terkesan sombong yah? Dua hari belakangan ini saya sudah membaca beberapa artikel yang intinya kaum wanita harus bisa melebihi kaum pria dalam hal apapun.
Pada dasarnya saya sangat setuju dengan konsep Emansipasi Wanita. Saya setuju dengan konsep bahwa wanitia harus bisa mandiri dan berani. Tidak seperti kehidupan wanita zaman dahulu yang hanya bisa manut-manut alias menurut saja sehingga pihak yang dirugikan kebanyakan justru kaum wanita itu sendiri. Tapi kita sebagai wanita tentunya jangan sampai menyalahartikan konsep Emansipasi Wanita dan Kesetaraan Gender ini.
Menurut KBBI online, arti Emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jadi konsep Emansipasi Wanita bertujuan supaya wanita memiliki kedudukan yang sama dengan pria dalam hidup bermasyarakat. Sementara itu dalam websitenya, PBB menjelaskan konsep Kesetaraan Gender (Gender Equality) sebagai persamaan hak, tanggung jawab dan kesempatan bagi wanita dan pria, tanpa memandang apakah mereka dilahirkan sebagai wanita atau pria.
Jadi sudah jelas kan, tujuan adanya kedua konsep ini bukan berarti ingin mendorong kaum wanita harus melebihi kaum pria, melainkan kesetaraan antara keduanya. Wanita boleh saja berprinsip mandiri, berani, kuat, dan tidak selalu bergantung pada orang lain terutama pria.
Namun tanpa bermaksud melarang orang lain (terutama kaum wanita) berpendapat, saya sebagai wanita ingin mengajak para wanita di luar sana untuk berintrospeksi juga. Apakah kita sudah menerapkan konsep Emansipasi Wanita dan Kesetaraan Gender dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan benar?
Sering kali saya perhatikan banyak komunitas wanita yang kerap dan getol menyuarakan kekuatan wanita sebagai bentuk perwujudan emansipasi, misal lewat media elektronik, media cetak hingga pada saat aksi protes pada hari-hari tertentu dan sebagainya. Tapi nyatanya dalam kehidupan sehari-hari mereka malah memanfaatkan gendernya sebagai wanita untuk memperoleh perlakuan khusus.
Sebagai contoh sederhana, ketika kita (wanita) sedang berada di dalam bus Transjakarta yang kebetulan kursi di area khusus wanita penuh meskipun space untuk berdiri masih cukup luas. Kemudian kita sengaja berdiri di area abu-abu alias di belakang yang kebetulan kursinya juga penuh diduduki kaum pria. Kenapa saya bilang area abu-abu? Karena meskipun di dalam bus ada area khusus wanita, tapi tidak ada area khusus pria, sehingga area tersebut tetap boleh dimasuki wanita. Tujuannya tak lain tak bukan supaya petugas on board sadar bahwa ada seorang wanita yang berdiri, sehingga salah satu pria akan diminta memberikan kursinya pada kita.