Ir, ayo kita nyumbang dana untuk anak-anak yang gak mampu sekolah," kata teman saya ketika berjalan masuk pekarangan gereja untuk mengikuti misa Minggu pagi. Saat itu kami lihat ada beberapa orang dengan kaus seragam "Ayo Sekolah" sedang membagi-bagikan selebaran beserta amplop. Sebagai informasi, "Ayo Sekolah" merupakan sebuah gerakan amal di gereja kami untuk membantu anak-anak yang kurang mampu bersekolah.
"Aduh, ntar aja deh.. Gue juga lagi cekak banget nih. Tau sendiri tanggal tua begini. Belom gajian," sahutku mesem-mesem. Pembicaraan ini pun terhenti ketika kami harus bergegas masuk, karena misa akan segera dimulai.
Ketika bagian khotbah pastor akhirnya tiba, saya agak curiga. Entah mungkin memang itu adalah khotbah yang sudah dipersiapkan untuk hari itu atau karena bertepatan dengan tim dana "Ayo Sekolah" sedang "beraksi" untuk menghimpun sumbangan, tapi inti dari khotbah sang pastor adalah Berbagi.
Dan ketika khotbah selesai, saya tercenung. Terutama setelah saya ingat apa yang telah saya ucapkan tadi pagi ketika teman saya mengajak untuk berpartisipasi menyumbang. Yang saya sadari tentang esensi dari berbagi adalah niat tulus seseorang untuk berani berkorban, membantu orang-orang yang tidak seberuntung kita.
Ya benar, berkorban. Untuk membantu seseorang, tentu ada sesuatu yang harus kita korbankan. Apapun itu bentuknya. Baik materi, pikiran, maupun tenaga. Dan untuk berkorban sangat diperlukan kerendahan hati. Rendah hati untuk tidak merasa paling menderita sehingga harus berpikir ribuan kali sebelum berbagi, dan rendah hati untuk tidak mengharapkan imbalan apapun ketika sudah berbagi, termasuk pujian.
Jika dipikir-pikir, saya (dan mungkin juga Anda) merasa sangat beruntung. Bisa mengenyam pendidikan hingga lulus sarjana dan pendidikan profesi, hingga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan latar pendidikan saya. Entah berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan oleh orangtua saya untuk supaya bisa menyekolahkan dua anaknya hingga lulus kuliah.
Saya sadar, dengan begitu besarnya jumlah penduduk di Indonesia yang disertai pembangunan yang tidak merata, tentu masih banyak anak-anak yang orangtuanya tidak mampu membiayai mereka sekolah hingga sarjana. Bagaimanapun, pendidikan pada akhirnya sangat berkontribusi pada pekerjaan yang akan kita dapatkan nanti. Jadi, memang benar apa yang sering orangtua katakan, "Mau jadi apa kamu kalau tidak sekolah?"
Tidak ada orangtua yang tidak ingin anaknya mendapat pendidikan yang cukup dan mencapai kesuksesan. Tapi dengan fakta bahwa biaya pendidikan di Indonesia terbilang mahal dan perlahan tapi pasti menjadi semakin tak terjangkau, akibatnya banyak anak-anak yang terpaksa ikut bekerja untuk menambah biaya sekolah. Bahkan tak jarang juga ada yang harus putus sekolah, karena untuk membiayai makan sehari-hari saja sulit. Lagi-lagi, saya bersyukur karena semasa hidup saya, saya tidak perlu sampai mengalami hal semacam itu ketika masih bersekolah dulu.
Jadi, setelah semua yang saya terima hingga saat ini, mengapa saya merasa begitu sulit mengeluarkan beberapa lembar uang untuk sekadar berpartisipasi dalam gerakan amal? Toh juga saya bukannya diminta menjadi Orangtua Asuh (salah satu program "Ayo Sekolah" di mana kita menjadi sukarelawan yang berkewajiban membiayai uang sekolah anak-anak tertentu setiap bulannya).
Meskipun sedikit, saya percaya yang sedikit ini tetap berperan juga untuk membantu anak-anak yang kesulitan sekolah. Akhirnya saya pun mengeluarkan satu-satunya lembar merah yang ada di dompet saya, lalu memasukkannya ke dalam amplop dan memberikannya kepada tim dana, sambil berdoa semoga di kesempatan berikutnya saya bisa memberi lebih banyak.
Saat kita berbagi dengan sesama, tidak harus disaat kita merasa berkelimpahan sampai tidak tahu lagi mau dikemanakan harta kita. Justru dengan kita berbagi disaat kita sendiri merasa "pas-pasan" atau bahkan kekurangan, kita akan merasa lebih bahagia. Percayalah, ketika orang lain merasa sangat terbantu dengan apa yang sudah kita berikan, hal itu akan terasa lebih berarti.