Lihat ke Halaman Asli

Irmina Gultom

TERVERIFIKASI

Apoteker

Peran Apoteker dalam Swamedikasi Bukanlah Peran "Dokter-dokteran"

Diperbarui: 22 Juli 2016   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya issue ini merupakan topik yang sudah sangat lama dibahas dan saya rasa informasi ini sudah tidak asing lagi di telinga tenaga kesehatan, terutama Apoteker dan Dokter. Akan tetapi, belakangan ini saya sering membaca tulisan beberapa kompasianer yang sepertinya salah persepsi, dan seakan-akan menyudutkan peran apoteker karena dianggap membatasi aktivitas dokter dalam mengobati pasien, dengan alasan peraturan pemerintah yang masih berupa wacana, dimana dokter sebaiknya hanya boleh mendiagnosa dan meresepkan obat ke pasien tanpa dispensing(menyerahkan obat ke pasien). Jadi agaknya saya perlu bersuara sedikit supaya tulisan-tulisan semacam itu tidak memberikan pengaruh buruk bagi pandangan masyarakat terhadap Apoteker.

Swamedikasi / Self-Medication adalah suatu usaha pengobatan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dengan gangguan ringan, misalnya batuk, pilek, demam dll. Istilah swamedikasi ini sendiri sudah dibahas dalam buku yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO) tahun 1998 dengan judul The Role of Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. Jadi, swamedikasi ini bukanlah "bentuk terselubung" yang sengaja dibuat-buat untuk membatasi aktivitas dokter dalam mengobati pasiennya. Apalagi disebut dengan istilah "dokter-dokteran" karena dianggap mengambil alih fungsi dokter dalam memberikan obat kepada pasien secara langsung.

Perlu diketahui, ruang lingkup swamedikasi itu sendiri pada dasarnya sangat terbatas. Hanya boleh dilakukan untuk menangani penyakit dengan gejala ringan yang sebelumnya sudah saya sebutkan di atas. Dan obat-obat yang diberikan kepada pasien pun terbatas pada golongan obat-obat bebas (lingkaran hijau) dan obat terbatas (lingkaran biru), meskipun terkadang pada prakteknya obat golongan keras (lingkaran merah dengan huruf K) seperti antibiotik masih sering "dikeluarkan" tanpa resep dokter. Namun saya tidak akan membahas lebih lanjut, mengapa hal ini bisa terjadi. Fokus saya kali ini adalah peran apoteker dalam swamedikasi.

Prinsip swamedikasi ini pada dasarnya ditujukan untuk membantu pasien-pasien yang hanya memiliki gejala penyakit ringan atau kurang mampu. Tidak bisa dipungkiri, biaya kesehatan di Indonesia masih tergolong mahal, meskipun sekarang ini berbagai jaminan kesehatan mulai berfungsi dengan baik, semisal BPJS. Tapi belum seluruh pelosok Indonesia sudah merasakan manfaat ini. Berobat dan konsultasi ke dokter masih dirasa agak sulit dilakukan oleh pasien-pasien yang kurang mampu. Lalu, apakah merek-mereka ini tidak boleh sakit, meskipun hanya sakit-sakit ringan? Jika mereka hanya sakit batuk/flu/demam, belum tentu mereka mampu membayar biaya konsultasi dokter, ditambah lagi biaya untuk menebus obat. Apalagi, jika jarak rumahnya jauh dengan klinik dokter terdekat, tapi di sekitar rumahnya ada apotek.

Dengan adanya swamedikasi, tentu pasien-pasien seperti itu tidak salah jika ingin mengobati dirinya sendiri. Caranya tak lain adalah dengan datang ke Apotek, bertemu Apoteker / Asisten Apoteker untuk membeli obat. Disini, pasien bisa berkonsultasi dengan apoteker tentang obat apa yang sebaiknya digunakan. Dan apoteker akan memberikan informasi lengkap mulai dari dosis yang tepat, lama dan aturan pakai obat, efek samping yang akan terjadi, cara penyimpanan obat dan sebagainya. Dan tentunya informasi yang diberikan, sesuai dengan ilmu yang sudah mereka pelajari dari sumber-sumber terpercaya. Sama halnya dengan dokter, apoteker pun mempunyai kode etik profesi. Jadi sekali lagi saya katakan, Apoteker bukanlah "dokter-dokteran"

Tidak bisa dipungkiri juga, belum tentu semua dokter yang dispensing (menyerahkan obat ke pasien) akan menginformasikan hal-hal semacam ini kepada pasien. Bahkan tidak jarang juga dokter meresepkan obat yang tidak rasional kepada pasien. Misalnya, obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit, dosis tidak sesuai, adanya interaksi obat dan sebagainya. Dan disinilah peran apoteker. Berdiskusi dengan dokter untuk menentukan obat yang paling sesuai bagi si pasien. Jadi, apoteker tidak bisa disebut-sebut sebagai dokter-dokteran.

Dokter dan apoteker memiliki dasar ilmu yang kurang lebih sama, tapi ranah pekerjaannya berbeda, namun sekaligus memiliki tujuan yang sama, yakni kesembuhan dan kesehatan pasien. Jika memang ada oknum lain di luar profesinya sebagai tenaga kesehatan resmi, namun dengan seenaknya mengobati pasien tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku, barulah lebih cocok disebut "dokter-dokteran". Dan jangan menjadikan regulasi pemerintah yang sejatinya masih berupa wacana, sebagai dalih untuk memojokkan profesi apoteker. Hendaknya Dokter dan Apoteker berjalan beriringan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline