Sejalan dengan kemajuan teknologi informatika yang demikian pesat memungkinkan hubungan antar bangsa tidak lagi sulit seperti dulu. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi Information and Communication Technology (ICT) dalam berbagai aspek kehidupan manusia dikenal dengan nama era digital (Arbi, 2002: 1). Perkembangan teknologi informasi saat ini, telah menciptakan jenis-jenis dan peluang-peluang bisnis yang baru di mana transaksi bisnis makin banyak dilakukan secara elektronik.
Perdagangan secara elektronik juga dikenal dengan istilah e-commerce. Menurut Kalakota dan Whinston (1997), E-commerce adalah aktivitas belanja online dengan menggunakan jaringan internet serta cara transaksinya melalui transfer uang secara digital. E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 saat pertama kali banner-electronic dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman website.
E-commerce terus mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dalam dunia perdagangan, hal tersebut dikarenakan sangat efisien dan efektif sehingga perhitungan biaya operasional dapat ditekan, terlebih lagi berkat dukungan teknologi internet yang semakin maju, secara teknis transaksi elektronik dapat dilakukan dengan sangat mudah dan praktis, hanya dengan menggunakan smartphone yang terhubung dengan koneksi internet maka konsumen dan/atau pelaku usaha dapat dengan mudah melakukan transaksi jual beli secara online.
Perkembangan internet memang cepat dan memberi pengaruh signifikan dalam segala aspek kehidupan. Internet membantu penggunanya untuk dapat berinteraksi, berkomunikasi, bekerja, bahkan melakukan perdagangan dengan banyak orang dari segala penjuru dunia dengan mudah, dan cepat. Dengan gampangnya berbagai kemudahan dan manfaat dapat diperoleh, namun dengan adanya kemudahan-kemudahan tersebut tidak menuntup kemungkinan terjadinya suatu tindak kejahatan didalam e-commerce, melihat kejahatan juga berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Konsumen dalam transaksi e-commerce memiliki resiko yang lebih besar daripada penjual atau merchantnya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Dimana e-commerce sendiri merupakan salah satu pertukaran data melalui electornic data interchange (EDI) memungkinkan tindak kejahatan terjadi terhadap data-data konsumen ketika melakukan transaksi secara elektronik yang dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
Atas masalah tersebut perlu adanya badan atau organisasi internasional yang mengatur sistem transaksi elektronik antar bangsa ini, maka dari itu disahkanlah United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) oleh PBB pada tanggal 16 Desember 1996. UNCITRAL sendiri merupakan aturan atau regulasi internasional yang dibentuk dengan tujuan untuk mengelompokkan suatu aturan-aturan hukum agar di dalam penggunaanya transaksi internasional mempunyai dasar hukum yang sudah mengaturnya secara tersendiri.
Salah satu produk hukum dari UNCITRAL ialah Model Law on Electronic Commerce yang bertujuan untuk menggalakkan aturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer guna transaksi komersial. Terdapat 3 tujuan pemilihan Model Law (model hukum) ini yakni:
- Model hukum ini mempunyai elemen-elemen yang dapat dengan mudah diadopsi dan diterima oleh negara-negara dengan suatu sistem sosial, budaya, ekonomi serta hukum berbeda sehingga perkembangan secara signifikan terhadap pengembangan dalam hubungan ekonomi internasional yang harmonis dapat diperoleh;
- Model hukum ini dijadikan pilihan hukum dalam suatu perdagangan internasional karena memang sudah diusulkan baik oleh negara atau organisasi internasional lainnya;
- Digunakannya model hukum dapat memberikan bantuan kepada negara lain di dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan nasional negara tersebut di bidang elektronik perdagangan (e-commerce). (Asyhadie,2005:120)
Dengan adanya produk hukum yang diciptakan oleh UNCITRAL, maka negara-negara bebas untuk mengikuti sebagian atau menolak Model Law on Electronic Commerce tersebut. Di Indonesia yang menjadi dasar hukum utama bagi konsumen yang melakukan transaksi e-commerce ialah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dalam Undang-undang ini tepatnya pada Pasal 2 mengartur bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ITE ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.
Dalam UU ITE mengatur tentang prinsip itikad baik dalam melakukan suatu transaksi elektronik. Pada Pasal 17 ayat (2) UU ITE menyebutkan bahwa "Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung", ketentuan tersebut menjadi dasar penting dalam melakukan suatu transaksi elektronik melalui e-commerce harus dilaksanakan dengan prinsip itikad baik oleh para pihak yang berkepentingan.
Selain itu, di dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) mengatur pihak yang melakukan transaksi boleh memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional, namun jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksinya maka hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Pada Pasal 18 ayat (4) dan (5) mengatur Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya akibat sengketa timbul dari Transaksi Elektronik internasional tersebut, namun jika para pihak tidak melakukan pilihan forum penyelesaian sengketa, maka penetapan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.