[caption id="attachment_148073" align="alignleft" width="259" caption="Foto: google (wordpress)"][/caption] Menjadi bos, atasan, pimpinan atau apapun namanya. Siapa yang tak menginginkan posisi yang satu ini? Posisi paling menggiurkan dari sebuah perusahaan, kantor atau institusi. Gaji besar, tunjangan dan fasilitas serba wah, belum lagi pelayanan ekstra yang serba mendapat perhatian khusus. Mau ngopi? Ada yang siap membuatkan secangkir kopi hangat sesuai selera. Mau fotocopy atau membuat laporan? Banyak staff yang membantu mengerjakannya. Cukup minta tolong, maka dengan segera semua dilaksanakan dengan secepat mungkin. Si bos tinggal mengarahkan dan memberi petunjuk saja. Makanya sampai ada ungkapan teman-teman yaitu ngebosi, mungkin maksudnya adalah hanya memberi perintah saja kali ya. Hmmm.. kapan ya bisa jadi bos? Ternyata statement tentang seorang bos setelah tinggal di Swedia terbantahkan. Berat juga menjadi seorang bos. Selain tanggung jawab yang besar tentu pekerjaan yang tak kalah sibuknya. Hal ini saya ketahui dari beberapa orang yang saya kenal dan temui. Kristel, seorang perempuan setengah baya yang menjadi kepala sekolah sebuah dagis atau preschool setaraf dengan play group dan Taman Kanak-Kanak di tanah air. Tempat dimana si kecil Marcho bermain dan belajar selama 3 jam setiap harinya dengan gratis. Sosok sederhana yang hanya mengendarai mobil butut sedikit berkarat atau sepeda ketika berangkat ke sekolah. Selalu meninjau ke masing-masing kelas sesuai umur secara bergantian setiap harinya. Ikut melakukan aktivitas bersama anak-anak, baik menari, menggambar atau bermain di taman. Suatu ketika saya melihatnya sedang membawa palu besar dan beberapa paku untuk memperbaiki tempat bermain atau memasang gambar di dinding bersama guru-guru yang sebagian besar perempuan. Pernah juga saya menemui dia sedang mendorong kardus besar yang berisi alat permainan anak-anak yang baru ke ruangan kelas. Anna, Manager pemeliharaan apartemen yang baru menjabat beberapa bulan ini di apartemen saya tinggal. Perempuan muda yang sedikit tomboi ini membawahi beberapa staff untuk bekerja sama dalam pemeliharaan dan bertanggung jawab terhadap beberapa blok apartemen. Setiap ada permasalahan mengenai pelayanan apartemen, kami selalu mengirim email. Ketika ada masalah dengan pemanas ruangan, dia datang sendiri untuk memeriksa. Saat jendela tetangga bermasalah, dia pun turun tangan memperbaiki sendiri bersama seorang anak buahnya. Tak jarang saya melihatnya keliling mengontrol apartemen dengan membawa kantong plastik hitam besar di tangan dan penjepit sampah untuk memunguti sampah yang sulit di daur ulang seperti plastik, botol atau kaleng di sepanjang jalan yang dilalui-nya. Sementara seorang Profesor Crister, guru besar salah satu Universitas Besar di Swedia dimana suami saya bekerja juga tak kalah membuat simpati. Setiap ada acara di kampus, tak segan beliau sibuk menyiapkan sendiri semua materi. Dari kertas, papan tulis, mengangkat kardus berisi bahan yang diperlukan, alat tulis dan peralatan lainnya. Pernah suatu ketika suami menawarkan diri untuk membantunya, namun beliau menolak dengan dalih bisa mlakukannya sendiri. Suatu saatpun beliau akan menjadi 'sopir' bagi mahasiswa ketika diadakan kuliah lapangan. Dan ketika suami datang pertama kalinya ke Sweden, beliau menyambut dan menjemput di stasiun. Lain lagi cerita si Khoy, lelaki asal Vietnam yang bekerja di sebuah restoran Asia (Thailand) akan mengerjakan semua pekerjaan dari memasak, melayani pembeli, membenahi meja makan, sampai bagian pembayaran (kasir) begitupun temannya melakukan hal yang sama secara bergantian. Nah, terus bos-nya yang mana dan anak buah yang mana kalau begitu ya? Rupanya antara bos dan anak buah tak ada kesenjangan yang sangat significant. Mereka akan menjadi partner sekaligus teman. Seorang bos juga menjadi seorang 'pelayan'. Dalam artian mengerjakan pekerjaan diluar fungsi bos seperti di tanah air. Seorang pegawai layanan publik akan mengurus semua keperluan dengan cepat dan tidak berbelit-belit. Ketika kami datang untuk mengurus kartu identitas (person number) di kantor pajak, hanya dilayani oleh seorang pegawai saja. Dari interview, memeriksa berkas berkas yang diperlukan, mengisi formulir, tanda tangan sampai foto copy. Demikian juga ketika di layanan publik lainnya seperti kantor imigrasi dll. Semua serba cepat dalam pelayanan dan praktis, tak banyak waktu terbuang untuk menunggu. Seandainya kantor layanan publik di tanah air menerapkan hal yang sama, tentu segala urusan akan cepat selesai. satu pegawai menangani semua dan melayani satu tamu. Jadi ingat ketika mengurus beberapa surat yang dibutuhkan di beberapa kantor pemerintah. Harus lama menunggu, karena untuk satu surat saja bisa ditangani oleh 5 pegawai atau lebih. Bagian menerima surat, memeriksa persyaratan, bagian mengurus tanda tangan, stempel dan fotocopy dilakukan oleh pegawai yang berbeda. Tak ayal maka semua proses menjadi lama dan memakan banyak waktu. Tapi bagaimanapun menjadi bos dimanapun tetaplah menjadi angan-angan semua orang. Mari kita bermimpi dan mewujudkan bersama untuk menjadi bos. Yuuuk, suatu saat buat usaha sediri kali ya.. :) Sweden, 12 Desember 2011 Winter without snow
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H