Tahun 2022 menjadi lembaran baru bagi Pemda dalam mengelola keuangan daerah. Sejalan dengan diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), Pemda didorong untuk mengakses berbagai alternatif pembiayaan daerah di tengah keterbatasan APBD dalam mendanai pembangunan infrastruktur daerah. Harapannya melalui pembiayaan daerah ini dapat mengakselerasi pembangunan di daerah untuk mencapai tujuan nasional. Berdasarkan data Kemenkeu diketahui total pinjaman daerah di Indonesia sangat rendah (0.049%) dibandingkan rata-rata pinjaman daerah di negara berkembang sebesar 5% PDB (2000).
Pada UU HKPD ini terdapat beberapa regulasi baru, dimulai dari perluasan skema hingga simplifikasi prosedur pembiayaan daerah dengan tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal. Perluasan skema ditandai dengan lahirnya sukuk daerah sebagai alternatif pembiayaan daerah berbasis syariah, dimana pada UU sebelumnya telah ada Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah. Sedangkan untuk simplifikasi prosedur, persetujuan DPRD terkait pembiayaan daerah dilakukan bersamaan dengan pembahasan R-APBD.
Khusus terkait pinjaman daerah, sebelumnya telah menjadi andalan pemda dalam mengatasi keterbatasan APBD guna melaksanakan pembangunan infrastruktur daerah. Namun pada UU HKPD ini, khusus pinjaman daerah yang berasal dari Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat dilakukan tanpa melewati prosedur pertimbangan Mendagri, Menkeu, ataupun Bappenas sepanjang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah. Sedangkan untuk pinjaman daerah yang berasal dari Pemerintah dan/atau melebihi sisa masa jabatan kepala daerah harus melewati prosedur pertimbangan Mendagri, Menkeu, ataupun Bappenas.
Untuk Obligasi Daerah, sampai saat ini belum ada Pemda yang berhasil mengakses alternatif pembiayaan daerah melalui penerbitan obligasi daerah. Berdasarkan paparan Kemenko Bidang Perekonomian (2023), diketahui bahwa tantangan dalam proses penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia meliputi persoalan institusional dan regulasi. Secara institusi, tantangan yang dihadapi yaitu 1) Pemda kerap mengalami surplus anggaran sehingga tidak perlu pembiayaan, 2) Keterbatasan kapasitas Pemda dalam mengelola utang, 3) Pemda sulit mengidentifikasi kebutuhan infrastruktur dapat dibiayai dengan utang jangka panjang, hingga 4) Perlunya persetujuan DPRD yang kerap menjadi pengganjal. Sedangkan secara regulasi, tantangan yang dihadapi yaitu 1) Aturan defisit anggaran Pemda belum mendukung penerbitan obligasi daerah, 2) Meskipun perangkat regulasi sudah lengkap namun masih terdapat celah yang dapat menghambat perkembangan Pasar Obligasi Daerah di masa mendatang. Misalnya di negara lain, Obligasi Daerah yang paling diminati adalah General Obligation Bond namun, regulasi di Indonesia hanya memungkinkan penerbitan Revenue Bond.
Namun demikian, Indonesia saat ini telah memiliki kerangka desentralisasi fiskal yang ideal untuk pasar Obligasi Daerah untuk dapat terus berkembang. Faktor yang mempengaruhi perkembangan Obligasi Daerah di Indonesia meliputi 1) Pembagian wewenang yang jelas antara pusat dan daerah terkait pembangunan infrastruktur, 2) Stabilitas penerimaan Pemerintah Daerah, baik dari pajak daerah maupun transfer pemerintah pusat, 3) Pengelolaan keuangan daerah yang berkualitas, hingga 4) Dukungan dan insentif dari Pemerintah Pusat. Adapun terkait prospek Pasar Obligasi Daerah di Indonesia saat ini Pemda memiliki memiliki wewenang untuk penyediaan infrastruktur lokal dan penerimaan yang relative stabil sehingga memungkinkan Obligasi Daerah dapat berkembang. Namun kapasitas Pemda dalam melakukan pembiayaan memiliki variasi yang tinggi dan analisis yang berkembang saat ini masih berfokus pada sisi supply tanpa mengetahui bagaimana persepsi investor terhadap Obligasi Daerah (demand).
Untuk Sukuk Daerah, proses penerbitannya mengikuti praktik APBN. Barang Milik Daerah dapat dijadikan sebagai underlying asset (dasar penerbitan) Sukuk Daerah. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di Dunia, memiliki potensi pasar sukuk yang sangat besar. Berdasarkan data DJPPR Kemenkeu (2023), presentasi International Sovereign Sukuk Issuence Indonesia mencapai 22.18% memimpin di atas Kingdom of Saudi Arabia, Emirates of Dubai hingga negara tetangga kita Malaysia. Namun demikian, sebagai alternatif baru pembiayaan daerah, penerbitan Sukuk Daerah masih memerlukan effort yang cukup besar dengan melibatkan peran aktif Pemda dan stakeholder terkait.
Sejauh ini yang telah berproses dalam rencana penerbitan Obligasi Daerah/Sukuk Daerah adalah Provinsi Jawa Barat. Kemenko Bidang Perekonomian pada 2023 telah melakukan pendampingan dan pengawalan kepada Pemprov Jawa Barat. Pemprov Jawa Barat telah mengajukan permohonan fasilitasi, melakukan MoU dengan BPKH selaku calon investor, hingga telah dilakukan review terhadap seluruh dokumen project. Saat ini rencana penerbitan Obligasi Daerah/Sukuk Daerah Pemprov Jawa Barat masih berproses. Diharapkan kedepannya Pemda lain yang memiliki potensi dalam menerbitkan Obligasi/Sukuk Daerah dapat mengikuti jejak Pemprov Jawa Barat.
Selain dari alternatif pembiayaan berdasarkan UU HKPD di atas yaitu Pinjaman Daerah, Obigasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Pemda juga dapat mengakses jenis pembiayaan daerah lainnya melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri, penerusan SBSN kepada Pemda, hingga mekanisme KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha). Diharapkan dengan berbagai macam alternatif pilihan pembiayaan daerah tersebut dapat mengakselerasi pembangunan di daerah untuk mencapai tujuan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H