Lihat ke Halaman Asli

Getirnya Nasib Petani Tebu

Diperbarui: 8 Februari 2019   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani tebu (Kompas.com)

Andai saja, manisnya gula bisa menulari nasib para petani tebu Indonesia. Tentu mereka tidak perlu mencurahkan isi hati dan keluhannya pada Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Seperti dilansir dari berbagai pemberitaan, Presiden Jokowi mengundang para petani tebu ke Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu. Di sana, para petani berkeluh kesah. Mereka sedih karena gula rafinasi yang harusnya didatangkan untuk kebutuhan industri, bocor ke pasar konsumen. Sehingga gula kristal putih yang dihasilkan petani dalam negeri, kalah bersaing. 

Keluhan lainnya adalah, gula petani yang kalah bersaing, tidak bisa sepenuhnya diserap oleh Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Badan usaha pelat merah yang dipimpin oleh Budi -Buwas- Waseso itu lebih mengutamakan gula yang digiling oleh pabrik BUMN. Sedangkan gula yang digiling oleh pabrik swasta, jarang diserap.

Tak hanya itu. Kadang gula yang dibeli Bulog, harganya di bawah biaya pokok produksi gula petani. Karena Bulog membeli di harga Rp 9700 per kg, sedangkan ada gula petani yang ongkos produksinya mencapai Rp 10.500 per kg.

Pekerjaan rumah lain yang mengemuka dari curahan hati petani adalah makin menyusutnya lahan perkebunan tebu. Contohnya di Jawa Barat, yang perkebunannya menyusut jadi 21 ribu hektare. Padahal di 2018 lalu, kebun tebu di sana masih seluas 27 ribu hektare.

Usut punya usut, petani tebu di sana tidak lagi bersemangat menanam tebu karena terus merugi. Selain itu, ada juga 3 pabrik tebu yang tutup karena tidak mampu mendapat keuntungan akibat tidak efisien berproduksi.

Sumber

Dari situ, Presiden dan segenap pemangku kepentingan terkait, seperti Menteri Perindustrian dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), harusnya paham bahwa mereka punya pekerjaan rumah. Misalnya meningkatkan rendemen gula di penggilingan BUMN, sehingga mesin mereka terpakai semua secara optimal. Alias tidak idle atau terbuang. 

Menteri BUMN juga harusnya memikirkan mengenai peremajaan mesin penggilingan. Karena kabarnya, mesin di pabrik BUMN, ada yang umurnya sampai seratus tahun lebih. Mesin itu, sudah berproduksi sejak jaman Belanda.

Di luar keluh kesah para petani tebu, ternyata mengemuka juga fakta bahwa mereka sebenarnya tidak anti impor. Para petani mahfum bahwa produksi gula nasional tak mampu memenuhi konsumsi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline