Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Ambil Jalan Cerai?

Diperbarui: 10 September 2015   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ceritanya, kemarin itu aku nangis, syukurnya ndak ada yang lihat hehehee… malu-maluin aja kan. Hadeuuh, udah ndak ada yang lihat malah dibilang-bilang. kenapa nangis? Saat lihat postingan saudara sepupu aku, sebut saja namanya Bang Erwin. Dalam postingannya beliau mengucapkan selamat ulang tahun pada anaknya. Lalu masalahnya dimana? Memberi ucapan dan do’a pada anaknya aku yang nangis.

Jadi, Bang Erwin ini sudah bercerai dengan istrinya yang orang Padang. Perkawinannya hanya bertahan lima tahun dan dikaruniai seorang putra. Rasanya ndak kuat melihat wajah polos anak beliau tetapi harus menghadapi kenyataan bahwa ayah sama mamanya pisahan. Macam kehilangan separuh jiwanya karena harus diasuh satu saja dari orang tuanya.

Dia yang tak tahu apa-apa harus menanggung pertumbuhannya kehilangan salah satu figur yang harusnya dia contoh dan idolakan. Meskipun aku tidak  pernah dalam posisi anak saudaraku itu, tapi waktu lihat potonya rasanya hatiku tersanyat-sanyat, dan mungkin lebih menyakitkan baginya ketika saat sudah besar nanti. Semoga saja kelak dia tak menjadi orang yang pendendam terhadap salah satu orang tuanya.

Ketika sudah memutuskan untuk menikah sebenarnya apa yang ada dalam pikiran mereka-mereka yang bercerai sehingga ketika di tengah perjalanan tak mampu mempertahankan rasa-rasa membuncah yang dulunya ada, justru saling menyalahkan dan mencari-cari kejelekan pasangan. Entahlah…

Perceraian, betapa egoisnya para orang tua yang mengabaikan perasaan sakit anak-anaknya. Apakah permasalahan yang ada memang sudah tak bisa diperbaiki? Diselesaikan tanpa ada yang tersakiti? Atau memang persoalan-persoalan pemicu perceraian tak dapat dihindari? Kalau semua ingin menang sendiri lalu bagaimana penyelesaiannya? Dan apakah jalan keluarnya hanya perceraian?

Pemicu perceraian mungkin saja karena faktor ekonomi, perselingkuhan, salah satu ada yang sakit atau cacat permanen karena kecelakaan dan ndak mau menerima kondisi pasangannya. Kematangan berpikir mungkin hal penting dalam membina rumah tangga, betul nggak sih? Wqeqeqeeeq… kalau sampai terjadi perceraian berarti dua-duanya berpikirnya masih ke-aku-an yang ditonjolkan.

Ada lagi alasan perceraian yaitu sudah ndak ada kecocokan. Aku kira alasan ini absurd ndak masuk akal dan menggelikan, ndak jelas. Lah yang dicari itu kecocokan macam apa? Kalau semua mencari kecocokan dan ndak ada yang mau mencocokkan atau untuk dicocokkan ya ndak akan jumpa (duh belibet banget yak). Lalu dulu waktu menikah alasannya apa? Karena sudah merasa cocok? Mengapa seiring berjalannya waktu kecocokan itu raib.

(pertanyaan mulu, wqiqiqiq)

Bukankah menikah itu menyempurnakan separuh agama. Artinya pahala-pahala yang ada dalam pernikahan banyaaak sangaaat. Menikah bukan untuk mencari kesenangan sesaat. Harus saling menyempurnakan meskipun sempurna hanya milik Andra & the Backbone (kata Pak AJe) dan melejitkan potensi semua individu yang ada dalam keluarga. Artinya membuat orang-orang yang ada dalam pernikahan itu menjadi orang yang lebih baik. Betul??

Ada ungkapan ada perjumpaan ada perpisahan. Kalau perpisahaan disini adalah perceraian aku kira jangan sampai terjadi. Memutuskan untuk menikah, berarti suka dan duka bersama pahit manis berdua yang rasakan dan perpisahannya adalah hanya maut.

Cinta itu mampu mengubah sakit dan derita menjadi nikmat dan getarannya mampu mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang, uhhuukkk, maka pentinglah menjaga cinta yang sudah dimiliki. Tapii jangan kemudian biar tambah banyak nikmat dari cinta terus menambah cinta yang sudah dimilki, aseli bukan lagi omelan tapi pentungan dari kayu jati yang melayang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline