Kartini, seorang pejuang perempuan yang namanya dikenal bahkan sampai ke belahan dunia karena tekadnya yang berusaha melawan arus kekuasaan besar penjajahan dan tembok besar yang mengkotak-kotakkan Kabupaten Jepara pada masa itu, tempat yang menyekapnya bertahun-tahun. Kartini, pejuang yang sangat memiliki kepekaan dan perhatian yang luar biasa akan kolonialisme dan feodalisme yang sedang terjadi di masa itu. Kemudian dua hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat ia perjuangkan untuk memberikan keadilan kepada rakyatnya.
Kolonialisme yang menghasilkan Tanam paksa dan segala jenis kemelaratan yang dirasakan rakyat pribumi membuat kartini harus bergerak dan bersuara untuk meruntuhkan kekejaman kolonialisme yang menjadikan rakyat pribumi sebagai “manusia perahan” yang bisa kapan saja diperah tenaganya hanya untuk kepentingan para penjajah.
Selain terjajah oleh kolonialisme, masyarakat pribumi juga terkungkung oleh adanya sistem feodalisme yang berlaku, khususnya di masyarakat jawa, tempat dimana Kartini menjalani hidup. Tempat yang mengikuti tatanan feodalisme di mana penghambaan sangat kental dan menjadi ciri khasnya. Struktur yang mengklasifikasikan masyarakat ke dalam beberapa kelas. kelas-kelas sosial tersebut kemudian menjadi produk dari feodalisme, golongan rakyat kecil dipaksa menghamba kepada bangsawan dan ningrat—priyayi.
Dalam system feodalisme kehormatan manusia terletak pada kelas sosialnya. Tidak perduli apakah orang tersebut bodoh, terpelajar, beradab atau bahkan kejam sekalipun. Seseorang akan tetap mendapat penghormatan dari orang lain karena keningratan dan kebangsawanannya.
Disinilah yang kemudian membuat kartini memberontak. Meskipun Kartini salah satu dari kaum bangsawan tersebut namun ia tidak setuju dan menolak akan tatanan foedal tersebut. Sikapnya yang menunjukkan pada anti feodal mensuratkan bahwa ia berpihak pada rakyat, terutama pada keadilan bagi seluruh masyarakat pribumi, entah itu kaum bangswan, priyayi – ningrat maupun masyarakat biasa. Dia menolak segala kenyamanan dan keistimewaan yang dinikmati kelasnya, kaum feodal, yang diraih dan dipertahankan dengan kekuasaan.
Kelas-kelas sosial inilah yang mencetak adanya diskriminasi sosial. Diskriminasi yang terjadi di masyarakat indonesia juga bukan hanya sebatas pada masalah itu saja. Perbedaan interaksi antara kaum perempuan dengan lelaki juga sangat mencolok. Adat kebiasaan masyarakat jawa yang melarang perempuan-perempuan untuk kelaur rumah. Perempuan hanya berperan untuk mengatur masalah domestik atau masalah yang berhubungan dengan rumah saja. Menjadi perempuan pingitan, kemudian dinikahkan oleh orang tua mereka, melahirkan, mengurusi rumah tangga dan kemudian meninggal. Hanya itu saja siklus kehidupan perempuan pada masa itu.
Perempuan yang keluar dari rumah kemudian pergi ke sekolah menjadi pengkhianatan terhadap adat kebisaan yang sudah terpatri. Menodai nilai dan norma masyarakat. Menjadikan pendidikan sebagai hal yang tabu bagi perempuan Jawa. Perempuan-perempuan Jawa harus tinggal di dalam rumah, seolah seperti takdir yang harus diterima. Mengenyam pendidikan, menjadi perempuan yang terpelajar dan terdidik adalah aib bagi kaum perempuan. Semua fenomena-fenomena yang terjadi kemudian menggerakkan pikirannya. Kegigihan, kepedulian dan keberanian membuat Kartini keluar dari bayang-bayang jajahan dan kebiasaan adatnya itu.
Sebab ia tidak punya massa karena statusnya sebagai seorang bangsawan yang tidak diperkenankan bergaul dengan pribumi membuatnya menyuarakan gagasan dan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Ia kemudian menyuarakan gagasan yang menyatakan bahwa Pendidikan sebagai alat pembebasan. Kartini yakin, salah satu senjata yang bisa membebaskan rakyatnya dari kebodohan dan keterbelakangan adalah kurangnya pendidikan. Oleh karena itu, Kartini mempunyai komitmen tinggi menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan, memajukan, mendidik dan menaikan derajat rakyatnya. Pendidikan menjadi jalan untuk mengubah pola pikir mereka, menanamkan kesadaran bahwa mereka tengah tertindas, tanpa pendidikan mereka akan terus terjajah dan tidak menyadari bahwa diri mereka sebenarnya terbelenggu.
Pendidikan sebagai alat pembebasan
Kartini menginginkan pendidikan yang merata, tanpa diskriminasi dan dapat diakses oleh semua rakyat. Baik itu untuk kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Pendidikan adalah hak untuk semua rakyat, hak rakyat untuk mengembangkan dirinya dan mengejar kemajuan. Menurutnya perempuan memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Perempuan yang memiliki kodrat menjadi seorang ibu merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Atas dasar alasan inilah kartini berusaha kemudian membangun sekolah pertama untuk kaum perempuan.
Pendidikan yang diharapkan kartini adalah pendidikan tanpa diskriminasi nampaknya belum terwujud bahkan hingga Model pendidikan neo-kolonial, yang menempatkan pendidikan sebagai barang dagangan, berorientasi pada logika pasar yang mengakumulasikan keuntungan, dapat dikatakan pendidikan bersifat Profit Oriented sehingga pendidikan hanya dinikmati kaum kaya, bertolak belakang dengan cita-cita pendidikan Kartini yang menghendaki pencerdasan seluruh rakyat tanpa diskriminasi.