Lihat ke Halaman Asli

Ratusan Petani Tersandera Konflik

Diperbarui: 3 Januari 2019   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi alih fungsi lahan (Zelphi/Tribun Jabar)

Petani adalah profesi yang mungkin terkesan kecil namun besar dampaknya bagi ketahanan pangan kita. Ironisnya, pentingnya posisi petani dalam negara agraris seperti Indonesia ini, tidak membuat mereka terlindungi.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 410 konflik agraria selama 2018. Dalam kaleidoskop tahunannya, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun lalu mencakup luas wilayah 807.177,6 hektare (ha) dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Posisi tertinggi konflik agraria disumbang oleh pembangunan di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus atau 35%. Sebanyak 60% atau 83 kasus konflik di sektor perkebunan terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Posisi tersebut disusul oleh konflik di sektor properti sebanyak 137 kasus atau 33%, pertanian 53 kasus atau 13%, pertambangan 29 kasus atau 7%. Kemudian, kehutanan 19 kasus atau 5%, pembangunan infrastruktur 16 kasus atau 4%, serta pesisir/kelautan 12 kasus atau 3%.

Konflik agraria paling banyak tersebar di provinsi Riau, yakni sebanyak 42 kasus. Kemudian disusul Jawa Timur 35 kasus, Sumatera Selatan 28 kasus, Jawa Barat 28 kasus, Lampung 26 kasus, Sumatera Utara 23 kasus, Banten 22 kasus, Aceh 21 kasus, Kalimantan Tengah 17 kasus dan DKI Jakarta 17 kasus. Dari segi wilayah, ada 444 desa dan 200 kota yang terdampak oleh konflik agraria," kata Dewi.

Konflik alih fungsi lahan (meme edit pribadi)

Sumber

konflik agraria yang menyandera petani itu kebanyakan terjadi akibat alih fungsi lahan. Ada perubahan peruntukan yang dianggap merugikan petani, atau merugikan pemilik modal.

Misalnya konflik yang dipicu oleh keputusan pejabat publik dalam menetapkan Hak Guna Usaha (HGU) negara dan perkebunan swasta, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Keputusan pejabat publik tersebut dianggap acap tidak adil terhadap hak-hak rakyat.

Masifnya alih fungsi lahan pertanian, perkebunan, atau perhutanan, rentan membuat petani kita tersudut. Mereka pasti akan mempertahankan haknya mencari nafkah. Sedangkan pembukaan lahan untuk pertanian, bisa dihitung pakai jari.

Dalam polemik seperti ini, diharapkan ada pihak yang bisa muncul sebagai pembela pertanian. Namun sejauh ini, belum terlihat ada satrio piningit yang memperjuangkan hak petani. Apa kabar dengan Kementerian Pertanian ya?

Mana pertolongannya? (meme edit pribadi)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline