Lihat ke Halaman Asli

Tidak Semua Guru Layak Ditiru

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anda pernah punya pengalaman dengan orang yang suka berkomentar negatif? Rasanya pasti tidak menyenangkan. Saya sendiri jika bertemu dengan orang-orang seperti itu kadang suka merasa heran. Alih-alih membantu, komentar yang tidak enak malah membuat kita jadi terganggu. Bagaimana jika yang suka berkomentar buruk itu guru kelas kita?

Puteri pertama saya punya pengalaman serupa. Guru kelasnya senang sekali berkomentar yang tidak enak disaat-saat sang murid membutuhkan bantuan. Misalnya, suatu hari saat waktunya shalat dzuhur berjamaah, sajadah puteri saya disembunyikan teman kelasnya. Saat itu puteri saya bertanya dengan suara agak keras “Ada yang lihat sajadahku nggak?”. Sang guru yang dimaksud sebutlah Bu X yang kebetulan berada didekatnya langsung nyeletuk “Mana tahu!”. Ajaibnya,Bu X pun melenggang tanpa membantu puteri saya yang kebingungan. Padahal, andai saja ia sekedar bertanya pada semua muridnya, siapa yang melihat sajadah puteri saya, itu sudah sangat membantu. Atau kalau tidak bisa membantu,tak usah berkomentar seperti itu.

Awalnya saya kira mungkin hanya perasaan anak saya saja yang sensitif. Namanya juga anak perempuan. Apalagi belajar di sekolah dasar merupakan pengalaman baru baginya. Duduk dikelas satu SD membuat ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan pola belajar yang baru. Tapi ternyata keluhan-keluhan seperti ini hampir setiap hari muncul. Di lain waktu, suami saya berhalangan menjemput puteri kami. Biasanya jika begini saya memberitahukan guru kelas via sms, agar gurunya mengenali penjemput siswanya. Menjelang pulang, puteri saya bertanya pada wali kelasnya (Bu Lia) siapa yang akan menjemput. Dijawab, Pak Saiful (nama pak satpam kompleks kami). Puteri saya dengan santai bercerita pada kedua guru kelasnya, Bu Lia dan Bu X bahwa Pak Saiful itu adalah petugas keamanan kompleksnya, orangnya baik. Dengan enteng Bu X menjawab, “Mau tukang ojek kek, mau satpam kek, terserah.”

Sesampainya di rumah puteri saya yang tidak mengerti langsung menceritakan tentang komentar Bu X. Dia merasa sedih dengan tanggapan gurunya yang diluar dugaan. Ternyata masalahnya tidak selesai sampai di sini. Setiap kali pelajaran matematika hari Senin, Selasa dan Kamis puteri saya mogok sekolah. Alasannya ia benci matematika hingga ia menangis tersedu saat saya memintanya tetap masuk sekolah. Padahal saya tahu dia tidak punya masalah dengan pelajaran tersebut. Selidik punya selidik setelah saya ajak bicara pelan-pelan, puteri saya mengaku dia tidak happy dengan pelajaran itu karena yang mengajar adalah Bu X. “Orangnya galak, suka teriak-teriak, tidak sama dengan guru-guru lain yang baik,” jawabnya.

Saya sempat sedih melihat kekecewaan puteri saya terhadap sekolah barunya. IAkhirnya saya temui kedua guru wali kelasnya untuk membicarakan mengenai masalah puteri saya. Syukurlah mereka memahami perasaan puteri saya sehingga ia bisa kembali masuk sekolah dengan tenang. Namun tetap saja perilaku atau kebiasaan berbicara seenaknya saat mengajar masih dlakukan Bu X.Saya sendiri menduga ia bersikap seperti itu tidak hanya pada puteri saya, tapi juga murid-murid lainnya. Sedihnya sang guru tidak pernah menyadari sikapnya yang bisa mematahkan semangat belajar murid-murid didiknya yang masih belia. Sebaliknya malah menimbulkan rasa takut dan antipati.

Apakah sikap seperti itu muncul akibat kemudaan usia Bu X atau memang sudah karakter bawaannya ya? Seringkali pertanyaan itu muncul dibenak saya jika puteri saya masih suka bercerita tentang sikap Bu X. Saya menyadari tidak ada dunia yang ideal, begitu juga untuk anak-anak saya. Saya justru harus menyiapkan mereka menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh agar bisa menghadapi tantangan hidup. Kepada puteri saya akhirnya saya memintanya untuk mengabaikan perkataan-perkataan negatif Bu X. Biasanya saya gali juga, apakah puteri saya melakukan kesalahan yang membuat Bu X marah. Jika ya, saya minta ia lebih bertanggung jawab saat belajar di sekolah. Sayapun banyak mengapresiasi  proses dan hasil belajarnya sehingga ia bisa mengabaikan perasaan sedihnya akibat merasa tidak diterima oleh Bu X.

Menurut saya profesi mulia sebagai guru membutuhkan standar yang  amat tinggi. Bukan hanya soal gelar sarjana semata sebagai syarat kualitas kemampuan untuk mengajar. Yang lebih penting dari itu adalah kesadaran dan kesiapan mental yang matang karena mengemban amanah yang sangat besar dalam mendidik siswa-siswanya. Seyogyanya  para guru juga ini paham bahwa segala tingkah-laku mereka selama proses belajar mengajar di sekolah akan dilihat dan mungkin ditiru. Juga disimpan dalam memori setiap muridnya hingga kelak mereka besar nanti. Bukankah kita semua juga punya pengalaman yang membekas dengan guru-guru kita dulu, entah itu baik, manis maupun yang buruk?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline