Aina menangis mengadu kepada ayahnya. Dia melaporkan berbagai hal buruk yang katanya dialami di asrama. Air yang sering tidak mengalir, makanan yang basi, jarak sekolah yang jauh, kakak pengasuh yang jahat, semua begitu lancar keluar dari lisannya.
Mendengar pengaduan putri kesayangannya tersebut, pak Andi yang seorang karyawan perusahaan ternama itu pun meradang. Dia tidak terima anaknya yang sehari-harinya dia manjakan, mengalami hal itu. Segera diteleponnya pengurus pondok untuk mengajukan komplain atas layanan pondok yang tidak bagus.
"Pokoknya saya tidak terima anak saya diberi nasi basi. Digunakan untuk apa itu uang pembayaran santri kalau bukan untuk memberikan pelayanan yang baik," katanya dengan nada marah.
"Baik pak nanti kami tabayyun dulu ke asrama, apakah hal itu benar adanya," jawab seorang ustadzah yang mendapatkan telepon protes dari wali santri tersebut.
"Itu pembimbing asrama juga, ketika dihubungi susahnya minta ampun. Pembimbing itu harus stay setiap saat," katanya menggurui.
Tidak ingin berdebat yang tidak ada akhirnya, ustadzah yang akrab dipanggil ustazah Dina tersebut, hanya mendengar sambil sekali-kali mengiyakan, tanda bahwa dia sudah memperhatikan seluruh komplain dari wali santri tersebut.
"Baik pak, in syaa Allah akan segera kami tindak lanjuti." Katanya, berharap bapak itu sudah tuntas dengan amarahnya. Sikapnya yang memilih menjadi pendengar yang baik nampaknya membuat si bapak, wali santri itu kehabisan kata-kata setelah hampir seperempat jam melampiaskan protesnya dengan penuh emosi.
Segera diambilnya kunci motor metic dengan merk scoopy miliknya, berjalan menuju tempat parkir dan tak lama motor itupun melaju ke asrama. Ditemuinya pembimbing asrama yang saat itu sedang mendampingi pengasuh menata taman.
"Assalamu 'alaikum ustadzah!" Serentak pembimbing asrama dan sejumlah pengasuh yang sedang bekerja itu, menyapa.
"Wa'alaikum salam," jawabnya ramah.
Setelah mengajukan beberapa komentar basa basi, ustadzah tersebut pun masuk ke inti masalah namun karena kemampuan komunikasi yang dimilikinya, lawan bicaranya saat itu tidak merasa diinterogasi.