Lihat ke Halaman Asli

Irma Rima

Teacher and Student

Gerimis di Bulan Maret, Bagian 3: Sebuah Firasat

Diperbarui: 12 Januari 2024   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by rawpixel.com


Sebuah Firasat

Cerita Kak Ria di kedai waktu itu hanya kudengarkan lewat saja di telingaku. Aku masih belum percaya Suma adalah laki-laki yang sama seperti itu, Suma adalah laki-laki yang mencintaiku dan dia adalah pria yang memahami agamanya dengan baik. 

Sebelum itu pun juga sempat, Zaka teman sekelas komunitasku ketika ia datang ke kedai bersama ceweknya, Enno. Mereka sekilas seperti pasangan yang memiliki jiwa-jiwa maskulin yang dominan. 

"Kamu cocok sama Adi kali, Ema," kata Zaka sambil menyantap kebab yang dia pesan di kedaiku.

"Adi itu orangnya humoris sama enak diajak ngobrol, dia tipe plegmatis. Kalau Suma dia tipe korelis, lu bakal capek banget sama dia," sambung Zaka membeberkan pendapatnya soal hubunganku dengan Suma.

"Mmm, tapi aku masih cinta sama Suma, Zaka. Gimana, ya?" Jawabku sambil melamun. Aku tidak berharap pertanyaanku akan dijawab karena itu mungkin pertanyaan yang sulit. Ya, sangat sulit jika pada kenyataannya otak dan hati tidak selaras. 

Aku tidak peduli apa pun, karena aku mencintainya

Sabtu itu aku memutuskan pergi ke luar kota untuk menemui Suma. Entah bagaimana nantinya, pada intinya aku ingin tahu jawabannya. Jawaban soal, mengapa kau hanya diam membisu, Suma. Padahal bukankah, kita saling mencintai? Sudah sebaiknya kita memperjelas ikatan ini, bukan?

Tidakkah kau tahu hatiku selalu risau dan kepalaku sakit memikirkanmu. Aku tidak tahu mengapa kau tidak sering mengabariku lewat WhatsApp, aku selalu yang berusaha lebih dulu memulai. Sayangnya, aku selalu termakan dengan jawaban-jawabanmu yang singkat namun begitu menarikku.

Tepat sehari sebelum pergi keluar kota untuk menemui Suma, kaki kananku terkilir dan sangat sulit rasanya dibawa berjalan. Dalam hati sempat terbersit seperti, apakah ini tandanya aku tidak diperbolehkan menemui Suma? Ah, tidak ini bukan, apa-apa, pikirku. 

Ditemani ayahku, hari itu juga aku dibawa ke tukang urut untuk membetulkan urat-urat kakiku yang terkilir. Butuh waktu lima harian untuk benar-benar sembuh. Pada waktu yang sama aku tetap nekat untuk menemui Suma. 

Bersambung...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline