Lihat ke Halaman Asli

Penanda di Enam Agustus

Diperbarui: 5 Agustus 2015   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-----untuk Evi Ervina

Mimpi itu datang lagi. Mengoyak segala sisi sadar. Berputar dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Lalu berhenti pada satu titik yang berubah jadi samar. Dalam semalam aku bisa terjaga tiga kali karena mimpi tersebut. Kehadirannya seolah untuk mengabarkan satu hal yang tak pernah bisa ditemukan. Hanya berlangsung kurang lebih tujuh menit dan aku akan terjaga dengan rasa hangat di tubuh. Serupa sedang dipeluk seseorang dari belakang. Tak ada rasa takut apalagi keringat yang mengucur. Lebih-lebih lagi napas yang ngos-ngosan. Aku terjaga dengan rasa hangat yang manja.

Pada mimpi itu, aku melihat sepasang kekasih saling menumbuhkan cinta. Keduanya baru saja ikrarkan cinta dengan ijab kabul. Lalu mereka memasuki sebuah kamar. Aroma bunga menyambut mereka dan kemesraan saling menikam dari tatapan keduanya. Senyum mengembang kempis disertai debaran.

Keduanya berangkulan. Saling memberi kehangatan dalam gigil. Saling memahami dan berbagi napas. Segala larangan adat tak lagi jadi halangan. Tak ada merintangi mereka berbagi keromantisan. Keduanya jadi sepasang kekasih, dari dan kepada cinta.

“Aku lelakimu dan kau perempuanku, tak terpisahkan bahkan oleh kematian”

“Aku perempuanmu dan kau lelakiku, tak tergantikan oleh apa dan siapa,”

Waktu terasa sempit bagi mereka yang saling membutuhkan dan waktu tak pernah cukup bagi mereka yang saling mencintai. Waktu keduanya terasa cepat berlalu. Berpuluh tahun kemudian salah satu dari mereka pergi untuk kembali darimana ia datang.

Si lelaki pulang duluan menuju titik berangkatnya. Bukankah pulang adalah kembali ke titik di mana kita berangkat. Maka berangkatlah si lelaki meninggalkan kekasihnya yang meraung tangis tak tertahankan. Sedih meremas rakus seluruh tubuhnya. Matanya ditumbuhi kamboja. Aku tak sanggup menatap mata perempuan itu, hingga akhirnya aku terjaga.

Pada mimpi yang lain. Aku melihat jutaan pintu berjejer. Tiap ruangan terdapat satu pintu yang hanya bisa dilalui jika sudah saatnya. Dan jika sudah berhasil melewatinya, tak ada lagi alasan untuk kembali. Pintu itu, tak menerima yang ingin berjalan pulang. Aku menyaksikan seorang perempuan mendekam pada sebuah ruang tanpa cahaya. Tak ada suara selain suara detak jantung--yang antara haru dan resah. Tubuhnya lemah seakan tanpa tulang. Tak pernah ada yang menjenguknya. Ia sendiri—menyepi tanpa kata. Sesekali ia berontak untuk keluar dari ruangan itu, tapi waktunya belum sampai. Ia masih harus menunggu, mempersiapkan segalanya untuk memulai babakan baru dalam hidupnya. Serupa kepompong yang akan berubah kupu-kupu. Harus mempersiapkan sayap dan warnanya sendiri.

Ia telah saksikan banyak pintu terbuka, tapi bukan untuknya. Ia tak diberi kuasa untuk memilih. Ia harus belajar menerima takdirnya, apa dan bagaimana pun itu dan di pintu mana ia akan keluar. Ia juga tahu tak ada lagi jalan kembali setelah ia keluar di ruangan itu.

Resah mewarna di wajahnya. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkan ruangan tersebut, tapi makin hari ruangan tersebut semakin sempit dan ia merasa senak. Dengan segala sabar yang tak dimengerti, ia bertahan. Menunggu tak membuatnya bosan. Ia bisa menari mengikuti suara detak jantung yang sampir di telinganya. Ia tak menyadari, tariannya tersebut menyiksa orang lain—ibunya. Seperti ketidaktahuannya di belantara mana ia akan tinggal setelah pintu keluarnya terbuka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline