Lihat ke Halaman Asli

Oktober

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu duduk terdiam cukup. Pikirannya melambung jauh . Ia berpikir tak ada kehidupan tanpa waktu, tapi waktu bisa ada tanpa kehidupan. Lalu bagaimana menandai waktu, banyak hal yang bisa dilakukan. Oktober adalah salah satu bagian waktu yang diberi nama. Satu tanda bahwa ada sesuatu yang bergerak lalu kembali pada titik temunya. Semua orang akan tahu, setelah bulan September maka ada bulan “waktu” yang bernama Oktober. Waktu memiliki perulangan-perulangan yang selalu ditandai dengan peristiwa.

Tahun ini, awal Oktober masih menjadi bulan duka sekaligus ketangguhan. Pada 30 September 1965 darah dibuat berdesir lebih kencang. Jantung berdegup lebih dahsyat. Suasana mencekam oleh pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentu saja pada malam itu duka keluarga orang-orang yang dibantai oleh PKI belum terasa. Karena mereka sibuk menata kekalautan dan ketakutan untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dan pada tanggal 1 Oktober duka akan menyebar ke dada keluarga para korban. Pemberontakan PKI tersebut pula yang melatar belakangi lahirnya Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati tiap tanggal 1 Oktober yang menjadi semacam penawar duka dan jaminan jika bangsa Indonesia mempunyai pegangan teguh, pemersatu, dan pilar yang tak mudah runtuh bernama Pancasila.

Bulan Oktober juga ditandai dengan kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebuah kekuatan bangsa untuk melindungi kedaulatannya dari rongrongan musuh. Peringatan besar tahun ini berpusat di kota Surabaya- Kota Pahlawan. Peralatan militer mulai dari tank hingga pesawat tempur canggih dipamerkan dengan melakukan atraksi. Sebuah pertunjukan kekuatan yang dahsyat. Oktober tahun ini juga mendapat kehormatan menjadi waktu dimulaianya sejarah baru Indonesia, yakni pelantikan presiden dan wakil presiden baru Jokowi dan Jusuf Kalla.

Tiba-tiba lelaki itu ingin ke Losari barangkali sisa perayaan “syukuran rakyat” juga ada disana. Ia keluar rumah-menuju garasi lalu mengeluarkan motornya. Malam baru saja tiba. Ia melawan ngerinya jika harus bertemu dengan genk motor yang brutal, yang belum mampu “dibereskan” pihak berwajib.

Ia pelankan laju motornya karena kendaraan menyemut, hingga ia sampai di lampu merah perbatasan Gowa-Makassar. Ia berhenti setelah memasuki kota Makassar. Ia merasa ada yang mencegahnya. Tapi entah apa? Ia menoleh ke kiri dan kanan lalu memeriksa motornya. Tak ada kerusakan. Tapi ia tiba-tiba berhenti. Sebuah tanda di depannya memaksanya berhenti rupanya. Ia membacanya sekilas tapi cukup menyiksa batinnya “Mari Kita UtamakanBahasa Indonesia,” sudah lama tulisan itu terpajang di pinggir jalan. Tapi baru malam ini tulisan tersebut seakan menghantam kesadarannnya. Keindonesiaannya.

Ia tiba-tiba ingat peristiwa paling bersejarah di Oktober yang menandai lahirnya bangsa ini. Sebuah tonggak sejarah dipancangkan dengan kuat oleh para pemuda yang ingin melihat bangsanya berdiri di kaki sendiri. Saat itu 28 Oktober 1928 para pemuda melakukan sumpah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Sebuah cita-cita luhur untuk berdiri sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Pemuda-pemuda perintis kemerdekaan itu datang dari berbagai pelosok negeri. Mereka bergabung untuk tujuan mulia, menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Salah satu alat pemersatu bangsa dan identitaas bangsa pada hari itu dirumuskan, yakni bahasa Indonesia.

Kelahiran Sumpah Pemuda merupakan peristiwa politik yang sangat penting. Sumpah tersebut merupakan akar dari perumusan dan kelahiran bangsa Indonesia. Menyatukan rakyat yang berbeda- beda dari berbagai suku dalam satu naungan yang bernama Indonesia. Tonggak sejarah pada hari itu dimulai. Dan yang membuat bangga adalah karena bangsa yang akan lahir itu, memiliki bahasa sendiri, meski bertahun-tahun dikungkung oleh Belanda tidak lantas menjadikan bahasa penjajah sebagai bahasa persatuannya.

Bahasa Indonesia yang dianggap mampu menyatukan bangsa adalah bahasa melayu padahal jika saja saat itu ego daerah diutamakan, maka tentu bukan bahasa melayu yang menjadi bahasa nasional karena pemakainya tidak sebanyak bahasa Jawa atau bahasa Bugis-Makassar.

Lelaki tersebut menatap nanar tulisan di perbatasan kota itu . Ia teringat pemuda yang bernama M. Jamin yang berasal dari Sumatera, sebelum peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, M. Jamin masih menuliskan Sumatera sebagai tanah kelahirannya dalam sajak-sajaknya tapi setelah peristiwa bersejarah itu, ia mulai menulis sajak lalu dinyanyikan yang berisi pernyataan lebih luas, yakni tanah kelahirannya adalah Indonesia. Barangkali M. Jamin dan pemuda-pemuda lain saat itu berpikir tidak ada gunanya mempertahankan keegoaan daerah demi mencapai tujuan yang lebih baik dan besar ke depan, maka dengan suka rela pemuda-pemuda tersebut melepas “jubah” kedaerahannya demi bertumpah darah satu tana air Indonesia, demi berbangsa satu bangsa Indonesia, dan demi berbahasa satu bahasa Indonesia.

Lelaki itu nyaris tak berkedip menatap tulisan “Mari Kita Utamakan Bahasa Indonesia,” sebuah identitas bangsa yang dihargai dengan darah dan airmata oleh para pejuang itu, namun saat ini seakan telah koyak. Pemerintah yang seharusnya punya peranan penting dalam penggunaan bahasa Indonesia lebih bangga menggunankan bahasa asing (Inggris). Ia melihat kiri kanannya, ruang-ruang publik ditumbuhi bahasa asing. Media cetak dan elektronik pun berlomba-lomba menggunakan bahasa asing . Lelaki itu merasa tertimbun keasingan. Merasakan bahasa Indonesia terasing di negerinya sendiri. Ia miris sekaligus takut bahasa Indonesia tidak mampu bertahan dari ancaman bahasa asing. Bahasa Indonesia dikebiri sendri oleh masyarakatnya, oleh orang-orang yang seharusnya bangga menggunakannya. Ia berpikir, belajar bahasa asing sangat penting tapi mempertahankan bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas bangsa dan alat pemersatu bangsa sangat jauh lebih penting.

Pertahanan bahasa Indonesia saat ini sedang diuji dengan gelombang yang sangat besar dan dahsyat. Lelaki itu urung ke Losari sebab di ruang publik itu pun disuntiki bahasa asing pada namanya. Ia menunduk lalu bertanya pada diri sendiri, apakah negara maju atau berkembang harus menggadaikan identitas bangsanya sendiri, dan apakah kota dunia harus direcoki dengan bahasa asing pada tiap nama kegiatan, nama tempat dan dalam pidato para pejabat? Jika iyya, betapa mirisnya.

Lelaki itu memilih pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ia langitkan harapan agar para pejabat dan media lebih bijak dan lebih mengutamakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa asing. Ia sadar, peran pemerintah dan media sangat penting dalam mempertahankan bahasa Indonesia. Salah satu ciri bahasa akan punah adalah ketika para masyarakat pengunanya tidak lagi bangga dengan bahasa itu sendiri. Apakah kita masih bangga berbahasa Indonesia meski pun dengan dialek kedaerahan Bugis-Makassar?Hemm

Rumah kekasih, 23/10/2014





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline