Lihat ke Halaman Asli

Khoirul Huda

Mahasiswa

Ketika Alam Berbisik, Kita Telah Tuli

Diperbarui: 14 Maret 2024   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Bayangkan dunia di mana angin tak lagi membawa kesejukan, melainkan badai dahsyat yang menelan rumah dan kehidupan. Hujan tak lagi turun sebagai berkah, tapi air bah yang merenggut tanah dan harta benda. Matahari tak lagi bersinar hangat, tapi membakar bumi dengan panas yang tak tertahankan.

Akan kuciptakan sedikit kesegaran dari tanaman, di sudut ruang, tepian pembatas jalan, taman depan tempat duduk bersila hingga tidak menyisakan ruang kosong. Mudah memang, namun merawatnya tidak serta merta hanya bertarung dengan air, tapi perlu ada cinta dan empan papan mengerti tempat.

Tidak sembarang tanaman mampu bertahan atas ego kita. Mereka juga hidup dan mungkin punya perasaan tapi tak pernah mampu bicara, yang ada hanyalah kemampuan bertahan dan menunggu layu. Tidak semua tempat harus menjadi hijau dengan satu tanaman.

Menjadikan besar, merambat, dan berlipat adalah sebuah keharusan di sudut-sudut beton. Bunga dan tembok sudah cukup meyakinkan betapa rakusnya peradaban, hingga hijau adalah romantisme yang menjadi mewah dan perlahan gugur. Energi kita terlalu berharga untuk mendiskusikan rakus-rakus manusia berebut kuasa, lebih baik menjadikan seember tanah lahan kecil untuk tumbuhnya kesegaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline