Lihat ke Halaman Asli

Semoga Engkau Menjadi Artis Terkenal di Ibukota, Nak!

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_100304" align="aligncenter" width="640" caption="Human Trafficking (sumber: http://kampungtki.com)"][/caption] Namanya Angel. Usianya baru 17 tahun. Baru saja dia lulus SMA setahun yang lalu. Wajahnya sangat cantik. Kulitnya yang kuning langsat ditambah matanya yang agak sipit membuatnya nampak seperti keturunan Tionghoa. Bibirnya tipis merah merekah. Tubuhnya tinggi semampai. Benar-benar mempesona. Di kampungnya, Angel terkenal sebagai kembang desa. Kembang desa yang baru mekar. Banyak teman seusianya yang bilang dia seharusnya jadi artis terkenal. Kecantikannya tidak kalah dengan artis-artis ibukota yang sering mereka tonton di tv lewat antena parabola. Bahkan, wajahnya sebenarnya jauh lebih cantik. Secantik artis-artis Korea yang sering mereka lihat di LBS TV. Angel sering tersipu setiap kali teman-temannya memuji kecantikannya. Wajahnya cepat memerah karena malu, yang justru semakin menonjolkan kecantikannya. Winur. Itulah nama kampung dimana Angel tinggal. Sebuah kampung yang terletak jauh di pelosok Kabupaten Minahasa Tenggara, di daerah Tombatu. Hanya ada satu bis setiap hari dari Winur ke Manado dan sebaliknya yang harus menempuh 4 jam perjalananan. Bis itu akan berangkat pagi-pagi sekali dari Winur, biasanya sekitar jam 5 subuh, supaya bisa tiba di Manado sekitar jam 9 pagi. Selanjutnya, bis itu akan menunggu penumpang di terminal dan kembali ke Winur pada jam 1 siang, agar supaya bisa tiba sebelum malam. Hingga usianya yang sudah 17 tahun, Angel belum pernah sekalipun ke Manado. Jangankan ke Manado, ke Ratahan, ibukota Minahasa Tenggara pun dia baru beberapa kali. Itupun karena diajak menemani ibunya. Tidak pernah dia pergi sejauh itu sendirian atau hanya bersama teman-teman seusianya. Sore itu jam baru menunjukkan pukul 4 sore. Tapi bis sudah tiba dari Manado. Tidak biasanya. Biasanya bis tiba paling cepat jam 5 sore. Angel sedang menyapu halaman ketika bis sore itu lewat di depan rumahnya. Bis itu berhenti tidak jauh dari rumah Angel, tepat di depan rumah tante Natje. Angel menghentikan pekerjaannya dan melongokkan kepala. Dia ingin tahu, siapa yang datang sore itu. Seingat dia, tante Natje tidak ke Manado tadi pagi. Lalu siapa yang datang ya? Dari dalam bis, turun seorang gadis. Dandanannya nampak menyolok. Bibirnya merah menyala oleh lipstik. Matanya dihiasi eye shadow yang tebal. Bedak tebal juga nampak menutupi mukanya. Kacamata hitam tidak menutupi matanya, melainkan menutup bagian keningnya. Rambutnya yang sebahu berwarna kecoklatan. Di lehernya tergantung beberapa kalung keemasan. Di pergelangan tangan kiri ada sebuah jam tangan yang mengilap. Sementara di pergelangan tangan kanan beberapa gelang yang juga mengilap keemasan. Kaosnya hitam ketat membalut tubuhnya yang nampak seksi. Kaos itu nampak kekecilan di tubuhnya, sehingga sebagian perutnya nampak jelas. Celananya jeans, tapi sangat pendek, dan nampak seperti bekas terobek. Di kedua telinganya bertengger headset, dan ditangannya dia memang sebuah handphone Blackberry. Angel tertegun melihat gadis itu. Dia tidak bisa mengenalinya. "Ini mungkin tamu tante Natje dari Manado," begitu pikir Angel. "Angel!" gadis itu tiba-tiba berteriak memanggil namanya. Angel terkejut. Dia kenal suara itu. Ya...itu suara Yanti. Yanti adalah temannya. Usia mereka sebenarnya terpaut hampir 4 tahun. Tapi mereka cukup akrab. Apalagi rumah mereka memang berdekatan. Yanti sering ke rumah Angel hanya untuk bermain bersama. Tapi semuanya berubah setelah Yanti lulus SMA. Setelah lulus SMA, Yanti bilang akan langsung bekerja. Kejadian tiga tahun lalu itu segera terlintas di ingatan Angel. **** 3 tahun yang lalu di rumah Angel. "Aku mau ke Jakarta," kata Yanti sore itu. "Mau bekerja." "Kamu mau kerja dimana?" tanya Angel. "Di restoran. Aku akan jadi waitress disana," kata Yanti dengan yakin. "Kamu tidak takut ke Jakarta sendirian?" Angel bertanya lagi. "Hahaha...ya tidaklah...'kan ada Om Michael. Dia yang mengajakku kerja di Jakarta. Mama sudah setuju aku kerja di Jakarta. Daripada aku cuma tinggal di Winur terus. Kalau cuma tinggal di Winur, paling-paling dua atau tiga tahun lagi aku sudah akan menikah. Kalau kerja di Jakarta, aku bisa kumpul uang banyak. Gajinya lumayan. Kata om Michael, gaji pokoknya 1 juta. Tapi aku bisa dapat lebih kalau ada pelanggan restoran yang memberi tip atas pelayananku," jelas Yanti penuh keyakinan. Angel hanya mengangguk. Sejujurnya dia tidak mengerti apa yang dibicarakan Yanti saat itu. Saat itu dia masih baru saja lulus SMP dan baru akan masuk SMA. Dia tidak mengerti apa itu waitress, gaji pokok, atau tip. Dia hanya mengangguk saja. **** "Hey...apa kabar kamu sekarang?" colekan Yanti membuyarkan lamunan Angel. "Eh...Yanti...aku...aku...ya begini sekarang...baik-baik saja..." sahut Angel seadanya. "Kamu banyak sekali berubah, Nti...sudah jadi orang kota ya...." kata Angel. "Hahaha...," Yanti tertawa, "Ya iyalah....kamu masih ingat kan 3 tahun lalu kata-kataku....Aku akan langsung bekerja. Nanti aja deh kita ngobrol-ngobrol...Banyak yang mau aku ceritakan. Aku mau masuk dulu. Capek nih. Sampai besok ya...!" Esok harinya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Angel sedang beres-beres di dapur selesai memasak ketika Yanti datang. "Selamat pagi...." khas Yanti setiap kali mampir ke rumah Angel. Tidak berubah sejak tiga tahun lalu. "Pa' kabar, say...duuh....lihat deh kamu sekarang... cuantik banget...kayak artis Korea aja...," pujian Yanti langsung saja membuat wajah Angel kemerahan, seperti biasa. Angel menatap Yanti dalam-dalam. Dandanannya sudah tidak semenyolok kemarin ketika dia datang. Bahkan, Yanti datang tanpa make up sama sekali. Dan Angel cukup terkejut melihat Yanti. Banyak sekali yang berubah dari dirinya. Wajahnya nampak lebih tua daripada umurnya yang baru menginjak 21 tahun. Alis di atas matanya sudah tidak terlihat lagi. "Kapan datangnya, Nti?" tanya Angel membuka percakapan. "Sebenarnya sudah beberapa hari aku datang dari Jakarta. Tapi ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di Manado. Dan baru hari ini aku bisa pulang ke Winur lagi. Senang sekali rasanya bisa melihat Winur lagi setelah 3 tahun. Banyak juga yang berubah di kampung kita, ya. Jalan kesini sudah mulus sekali dibanding waktu aku ke Jakarta tiga tahun lalu," cerocos Yanti. "Kamu sendiri gimana kabarnya, say?" Yanti balik bertanya. "Ya begini," jawab Angel. "Kamu sudah lulus SMA kan?" "Iya. Sudah beberapa bulan lalu aku lulus." "Trus, apa yang kamu kerjakan sekarang? Kamu gak kuliah? Atau kerja?" "Tidak, Nti. Kuliah 'kan mahal. Orang tuaku tidak punya uang untuk membiayai kuliah. Apalagi masih ada Boy dan Dewi yang masih sekolah dan perlu banyak biaya juga." "Jadi kamu gak ngapa-ngapain? Cuma di rumah aja? Kenapa kamu gak kerja aja?" "Maunya memang bisa kerja, Nti. Tapi, mau melamar kerja dimana? Aku tidak punya ketrampilan. Kemarin baca-baca koran, ada banyak lowongan, tapi syaratnya selalu harus bisa bahasa Inggris dan komputer. Bahasa Inggrisku pas-pasan. Komputer tidak bisa sama sekali," sahut Angel. "Nah, ini kebetulan sekali. Di Jakarta, tempat kerjaku juga lagi butuh karyawan baru. Mereka cari pelayan restoran. Gak butuh ketrampilan. Cuma melayani orang aja. Seperti kamu melayani tamu di rumah, menyediakan minum atau makanan. Begitu aja. Kamu tertarik, gak? Gajinya lumayan lho. Gaji pokoknya sekarang sudah 1,5 juta per bulan. Belum lagi kalo kamu dapat tip dari pelanggan. Paling sedikit mereka biasanya kasi 20ribu. Bayangkan kalau ada 5 orang saja yang kamu layani setiap hari, kamu sudah dapat tip 100ribu setiap hari. Ini diluar gaji pokok, dan tip ini hak kamu." bujuk Yanti. Angel nampak tercenung sesaat. Pikirannya segera melayang. Membayangkan memegang uang seratus ribu setiap hari sungguh sangat menarik. Seratus ribu itu rasanya sudah cukup untuk kebutuhannya sehari-hari. Jika dia punya uang seratus ribu setiap hari, maka gaji bulanannya tidak akan perlu lagi dia gunakan. Dia bisa mengirim uang untuk orang tuanya di Winur dan membantu membiayai sekolah Boy dan Dewi. "Kamu gak perlu kuatir mengenai tempat tinggal di Jakarta. Disana nanti kamu tinggal di dalam. Jadi kamu gak perlu bayar uang kos. Makan juga termasuk dalam tanggungan. Jadi gak usah kuatirlah soal pengeluaran untuk makan dan tempat tinggal. Semuanya akan disediakan oleh pemilik. Gimana? Gini deh, kamu pikir-pikir aja dulu. Aku masih akan di Winur beberapa hari lagi. Kalau kamu mau, beritahu saja aku, dan kita akan berangkat sama-sama ke Jakarta supaya orang tua kamu tidak kuatir." Sejak itu, setiap hari Yanti selalu mampir di rumah Angel. Menceritakan kehidupan ibukota yang sangat menarik. Memamerkan barang-barang yang sudah berhasil dibelinya sejak kerja di Jakarta tiga tahun lalu. Kalung dan gelang emas, hp Blackberry terbaru, pakaian-pakaian bermerk terkenal, dan sebagainya. Yanti terus membujuk Angel untuk bekerja di Jakarta. Dia bahkan membujuk tante Anitje, ibu Angel, untuk mengijinkan Angel bekerja di Jakarta. Tentu saja dengan iming-iming gaji yang tinggi dan tip yang menarik setiap hari. Setiap kali Yanti datang membawa impian kerja di Jakarta yang sangat menggiurkan, Angel terus mengalami kebimbangan. Dia takut sekaligus ingin. Kuatir tapi tertarik. Semua iming-iming Yanti telah membawa pikirannya jauh melanglang buana. Membayangkan kehidupan bergelimang uang. Bisa membeli apa saja. Dan satu kalimat Yanti yang paling membuatnya tergoda, "Untuk cewek dengan wajah secantik kamu, di Jakarta kamu akan dengan sangat mudah jadi artis." Rabu sore itu. "Lusa aku akan ke Manado lagi. Setelah itu kami harus balik ke Jakarta. Aku gak bisa lama-lama, cutiku sudah habis. Besok aku minta kepastian kamu. Kamu mau ikut atau tidak," kata Yanti sore itu, "Pingkan akan ikut. Dia mau kerja di Jakarta juga. Kalau kamu ikut, kita bertiga akan berangkat sama-sama. Jadi kamu gak usah kuatir lagi. Ada teman sekampung yang akan menemani." Malam itu Angel tidak bisa tidur. Dia sangat tertarik dengan tawaran Yanti. Tapi dia juga kuatir. Bagaimana jika Yanti menipunya? Bagaimana jika di Jakarta Yanti membiarkannya sendirian? Jangankan ke Jakarta, ke Manado saja dia belum pernah. Pikirannya terus melayang. Sepanjang malam. Membayangkan uang yang bisa memenuhi semua keinginannya, sekaligus membayangkan dia menjadi seorang pengemis jalanan yang terbuang di Jakarta. Dalam kebimbangan itu Angel terlelap. "Bagaimana? Kamu jadi ikut? Ini tawaran terakhirku, lho. Kalau gak sekarang, kapan lagi kamu bisa bekerja di Jakarta? Aku mungkin baru bisa pulang 3 atau bahkan 5 tahun lagi. Saat itu, kamu mungkin sudah menikah, Angel." Yanti kembali membujuknya pagi itu. "Nanti malam aku beri kepastiannya. Aku mau tanya orang tuaku dulu." jawab Angel. Sebenarnya Angel tidak perlu bertanya lagi. Ibunya sudah sangat tergoda dengan rayuan Yanti. Membayangkan anaknya yang cantik jelita menjadi artis di ibukota. Melihat suatu hari nanti Angel akan menghiasi layar kaca membintangi sejumlah sinetron terkenal. Ah, ibu mana yang tidak ingin anaknya sukses? Jam 4 subuh Angel sudah menanti bis di depan rumah Yanti. Pingkan, kakak kelasnya di SMA juga ada bersama mereka. Suara klakson bis membangunkan penduduk yang hendak berangkat ke Manado sudah terdengar dari kejauhan. Tepat di depan rumah Yanti, bis itu berhenti. Diantar oleh ibunya, Angel menaiki bis dengan langkah gontai. Masih ada sedikit kebimbangan dalam batinnya, namun bayangan gelimang uang segera menepis kebimbangan itu. Sesudah Angel, Pingkan juga menaiki bis. Dia diantar kedua orang tuanya. Yanti naik paling akhir diantar ibunya. Ibunya melambaikan tangan tanda perpisahan. Ya, perpisahan yang panjang. "Semoga engkau menjadi artis terkenal di ibukota, nak!" Bis melaju perlahan. Meninggalkan Winur yang masih diselimuti kabut. Perlahan meninggalkan Tombatu. Memasuki Ratahan, terus ke Langowan, lalu ke Tondano, hingga kini tanpa terasa mereka sudah berada di Tomohon. Setengah jam lagi mereka akan tiba di Manado. Angel mendesah perlahan. Kebimbangan itu harus terus dilawannya. Dilawan dengan bayangan gelimang uang yang menantinya di ibukota. "Sebentar lagi kita tiba di Karombasan. Di Karombasan nanti om Michael akan menjemput kita. Kita akan menginap dulu beberapa hari di rumah om Michael, sementara om Michael mengurus surat-surat dan tiket keberangkatan kita ke Jakarta, "begitu penjelasan Yanti yang cukup menenangkan Angel. Om Michael. Ya, Angel ingat nama itu. Seorang laki-laki berusia sekitar 40an tahun yang beberapa tahun lalu pernah singgah di Winur. Lewat dialah Yanti bisa ke Jakarta dan bekerja di sana. Tiga hari Angel dan Pingkan menginap di rumah om Michael. Selain om Michael ada tante Lina yang juga tinggal di rumah itu. Hari kedua, jumlah cewek yang menginap di rumah itu bertambah lima orang. Mereka pun berkenalan. Ada Dina, Melati, Mawar, Ayu, dan Indah. Mereka dari Amurang, kampungnya tante Lina. Hari ketiga, datang lagi lima orang cewek. Yuni, Sinta, Nina, Melinda, dan Rani. Mereka berlima berasal dari Airmadidi, kampung om Michael. Mereka semua sama-sama akan bekerja di Jakarta. Hari Senin pagi-pagi dua buah mobil Avanza sudah parkir di depan rumah om Michael. Angel dan kawan-kawannya akan segera ke Jakarta. Om Michael sudah menunjukkan tiket mereka tadi malam. Angel dan Pingkan menaiki Avanza hitam bersama om Michael dan kelima cewek asal Amurang. Sementara Yanti menaiki mobil Avanza silver bersama tante Lina dan kelima cewek asal Airmadidi. Mereka sudah berada dalam perjalanan ke bandara. Namun di Kairagi, rupanya sedang ada sweeping polisi. Mobil mereka dicegat dan om Michael, tante Lina serta Yanti diinterogasi polisi. Besoknya, surat kabar lokal menurunkan berita headline: POLDA SULUT GAGALKAN PERDAGANGAN PEREMPUAN Manado - Dua belas gadis berusia belasan tahun asal Minahasa, Sulawesi Utara, nyaris menjadi korban perdagangan manusia. Ke-12 gadis itu, bersama tiga orang yang diduga pelaku perdagangan manusia, diamankan polisi dalam perjalanan menuju Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado..... ————————————- Semua nama tokoh dan nama tempat dalam kisah ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh, ini hanya kebetulan belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline