Lihat ke Halaman Asli

Sastra Literer Penjaga Kelestarian Bahasa Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ketika dunia menyapa dengan segala sesuatu yang serba global, maka muncul arus baru untuk ikut disebut sebagai manusia internasional, anak internasional, sekolah internasional, makanan internasional, berbahasa internasional dan lain-lain. Namun jika ada kebodohan internasional, adakah yang ingin ikut disebut juga?

Mari endapkan sejenak segala sesuatu yang berbau internasional tadi, dan melihat sebuah fakta di atas endapan, yaitu realita murni dari kehidupan berbangsa dan berbudaya di Indonesia. Sebuah bangsa yang memiliki sistem politik, sistem militer, kepekaan budaya tradisional, serta tradisi intelektualyang buruk, cenderung membuat negara tersebut dianggap sebagai negara-negara dunia ketiga, dunia pinggir. Dan negara-negara dunia ketiga dianggap kurang mampu melahirkan penulis-penulis dengan kualitas karya yang baik.

Berbicara tentang penulis yang baik, dalam lingkup sastra, maka akan muncul batasan-batasan yang menjadi mimpi bagi banyak penulis. Batasan tersebut bisa berupa penghargaan, baik skala nasional maupun skala internasional. Secara otomatis, untuk mencapai penghargaan tersebut, seorang penulis terlebih sastrawan mau tidak mau harus menjadi agen perubahan. Sastra dianggap mampu menangkap gejala perubahan yang menjadi dinamika sebuah bangsa dan para sastrawan menuangkan gejala-gejala tersebut dalam karyanya.

Karya sastra, dengan bahasa yang literer, selama banyak periodesasi, telah menjadi penjaga yang baik bagi kelestarian bahasa. Memang tidak dimungkiri, telah terjadi perubahan-perubahan dalam bahasa, karena bahasa hidup dalam dinamika bangsa yang terus bergerak, namun kesantunan bahasa nasional tetap terjaga lewat sastra yang literer. Sebuah karya sastra dikatakan bermutu dengan melihat penggunaan bahasa dan kekompleksitasannya. Bahasa menjadi ‘penanda’ bagi keberadaan sebuah ‘petanda’. Petanda di sini merujuk kepada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Penanda merujuk kepada gaya bahasa atau gaya kepe­nulisan pengarang atau yang lebih populer dengan style (gaya kepenulisan) yaitu tentang bagaimana mereka menggunakan kata-kata terbaik dan bahasa terbaik dalam bertutur, mengisahkan sebuah peristiwa sehingga menggugah dan memperoleh pembelajaran hidup dari karya-karyanya.

Pada satu sisi, proses penerjemahan karya sastra menuju bahasa internasional, bahasa pusat dunia sastra yang dianggap berada di Barat (jika dinilai dari kriteria Nobel) memang perlu dilakukan untuk mengubah pandangan tentang dunia ketiga, dunia pinggir, dunia yang kurang dianggap. Namun, proses kreatif penciptaan karya sastra, tetaplah menggunakan bahasa nasional.

Berbicara sedikit tentang Nobel (salah satu yang dianggap sebagai barometer pencapaian mutu karya sastra terbaik dunia), hadiah Nobel diciptakan pada penghujung abad ke-19, dalam sebuah konteks sejarah dan sastra tertentu dan dalam kerangka pikiran yang amat Eropasentris (Henri Chambert-Loir). Dalam daftar Nobel, Malaysia dan Indonesia bahkan seluruh Asia Tenggara dan kebanyakan negara Asia, sepertinya tidak ada di peta mereka (Akademi Swedia). Sebenarnya, bukan lantaran tidak memenuhi persyaratan, namun Indonesia secara geografis, sejarah, agama dan budaya terasa sangat jauh dari sana. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi sastrawan Asia terutama Indonesia, untuk membalikkan keadaan, lantaran di Eropa sendiri, telah lama tidak muncul karya-karya sastra yang dianggap bermutu. Sementara di Indonesia, bahasa nasionalnya yang memiliki lebih dari 250 juta penutur, sastranya telah berkembang berabad-abad. Bangsa Indonesia sudah dapat menulis pada waktu sebagian besar bangsa-bangsa Eropa masih buta huruf. Peninggalan tulisan bangsa Indonesia lebih unggul menjelang abad kedelapan. Mpu Tantular dan Prapanca menulis Sutasoma dan Negarakertagama pada abad keempat belas. Jauh sebelum Nobel diselenggarakan.

Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu Riau, yaitu Melayu Tinggi dan berakar dari bahasa sansekertaseperti halnya bahasa-bahasa lain didunia, pun mengalami perubahan dalam kosakata dan kekayaan bahasa. Pada waktu Balai Pustaka (Kantoor voor de Volkslectuur) dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda, dapat dirasakan betapa corak dan ragam bahasa Indonesia dipengaruhi sangat kuat oleh bahasa lokal yang berlaku di jalur rempah-rempah yang melintang di sekujur garis kathulistiwa, termasuk bahasa Belanda sendiri. Roman-roman yang terkenal seperti Siti Noerbaja, Salah Asoehan, Lajar Terkembang mencerminkan kesehari-harian komunikasi antara rakyat jelata di negara kita.

Saat ini, sastrawan dan pembaca perlu bersikap kreatif dalam menghadapi bahasa sastra, pun bersikap kritis terhadap penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari cenderung telah mengalami proses pemiskinan dan pembekuan lantaran dalam situasi sehari-hari, bahasa lebih pada sekedar alat berkomunikasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline