Lihat ke Halaman Asli

Potret Lusuh

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MATA lelaki tua itu menerawang. Hening bola matanya seolah sedang menyaksikan sebuah diorama yang membentang merelief hingga ke ujung pandangan. Diorama yang begitu memilukan, meski juga yang begitu sarat dengan sanjung puji terhadap sebentuk kesetiaan. Sesuatu yang sudah teramat langka untuk ditemukan pada saat ini. Di sampingnya, seorang bocah laki-laki kurus berbaring bersamanya di pelupuh bambu, dipan usang yang ada di petak ruangan itu. Mat Hasan menghela nafas. Suaranya pecah dalam kebisuan malam.

“Cerita ini sudah seringkali kau dengar.”

“Tapi aku mau mendengarkannya lagi, Cang.”

“Kau tidak bosan?”

Lelaki kecil menggeleng.

“Lalu, kau harus tidur sesudahnya.” Mat Hasan mengelus kepala si bocah.

Bocah kecil itu mengangguk. Memiringkan badan sambil bertelekan di atas bantal kapuk yang apek dan berminyak. Sarung bantalnya jarang dicuci. Di luar angin malam masih mencumbui penjuru kota dengan kesiur dinginnya. Lembab bersama gerimis yang sebentar datang.

KESUNYIAN berlalu beriringan bersama hembusan angin. Melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah yang tak bisa diputar kembali. Langkahnya mengalun, menggumamkan kidung-kidung penantian. Perih. Laksana balada yang menguak luka. Begitu terus. Selalu bagi perempuan itu.

Nyaris setengah abad dia menatapi potret itu. Menunggu, menepikan sejumput kenangannya di butir-butir pasir yang basah. Kadang dia berdiri di tepian bandar Jakarta, menghirup aroma hangat laut yang menggelayutkan impiannya. Kadang pula duduk di bebatuan di sudut jingga pantai menyaksikan deburan ombak menggulung, menghempas pantai, menabrak karang-karang kecil, mengikis pasir dan bergulung kembali, berlalu menjauh seraya menarik serpihan hatinya.

Rukayah, perempuan tua itu setia menemani camar-camar datang dan pergi di atas biru laut. Setia seperti cara dia berpakaian. Berkebaya model lama yang selalu berbau cendana. Tak mempan tergoda rayuan jaman dengan berbagai ragam model dan bentuk pembalut kulit. Masih seperti puluhan tahun lalu jua. Tatkala kain batik nya tampil cemerlang membungkus tubuh sintalnya. Kini, hanya lunglai yang menerpa persendian, hanya kulit yang mengerut. Hanya rambut yang menipis, memerak lekang melawan perubahan meski tetap dikonde cepol. Keunikan yang sungguh tampak aneh di masa sekarang.

Keyakinannya begitu lekat, tidak berubah sedikit jua. Janseen akan menghampirinya dari seberang laut itu sembari membawa seikat bunga tulip yang dipesannya. Namun hari ini mulai melarut dalam kegelapan, memaksa perempuan itu beranjak tertatih dan sejenak melepaskan angan-angannya. Dia harus pulang dan mengumpulkan tenaga lagi supaya esok bisa tetap menanti separuh hatinya di tepi pantai yang telah mereka sepakati.

Lazuardi Jakarta perlahan menghitam didekap malam. Kerlip lampu mercusuar ditingkah lampu perahu nelayan mirip rombongan kunang-kunang. Dan di atas angkasa sana, sepotong bulan menyembul malu-malu, nyaris tidak terlihat lantaran tersaput pendar cahaya lampu kota.

“Dari pantai, Mpok?” sapa seorang pedagang gorengan keliling di depan gang rumah Rukayah. Seorang laki-laki setua Rukayah. Pikulan gorengan diletakkan di ujung gang, menanti pembeli menghampiri.

Iye,” jawan Rukayah ringkas. “Ente baru mangkan, San?” Rukayah balik bertanya.

“Sepuluh menit yang lewat. Tumben sepi malam ini.” Laki-laki yang disapa Rukayah membetulkan dingklik tempat dia duduk. Mat Hasan, tetangga Rukayah itu mengambil secarik kertas pembungkus, menaruh ubi dan pisang goreng beberapa butir di dalamnya, lantas menyodorkan ke Rukayah. “Ini, untuk cemilan,” ujar Mat Hasan.

“Terima kasih, San. Ente selalu saja baek.” Rukayah mengangsurkan tangannya, menerima pemberian Mat Hasan. Gemetar. Refleksnya telah jauh berkurang. Lantas dengan langkah perlahan, Rukayah memasuki gang sempit yang hanya cukup dilewati satu mobil itu menuju rumahnya. Mat Hasan mengamatinya sejenak, lantas menggeleng-gelengkan kepala.

“Kasihan,” gumam Mat Hasan perlahan. “Sudah hilang ingatan, barangkali.” Mat Hasan termangu. Sejurus, Mat Hasa kembali sibuk, tangannya membolak-balik gorengan dengan capitan besi sembari menanti pembeli. Sesekali capitan itu dipukulkan ke pinggiran wajan. Suaranya nyaring memendar ke penjuru kampung.

RUMAH Rukayah terletak di ujung gang. Sebuah rumah tua bergaya betawi yang halamannya tertata rapi. Ada pohon asam besar tumbuh di halaman samping rumah itu. Jika siang hari, anak-anak ramai bermain sembari memunguti buah asam matang yang berjatuhan. Kadangkala, anak-anak melompat-lompat menggapai buah asam yang masih bergelantungan di ranting, memanjat batang pohon atau menyodoknya dengan galah. Rukayah tak pernah melarangnya. Sayang juga kalau dibiarkan, bisa membusuk berjatuhan di tanah. Tertindan bersama daun-daunnya yang kecil melimpah. Kadangkala juga, ibu-ibu tetangga meminta sedikit untuk membuat sayur asam. Rukayah tak mau nyinyir dan pelit seperti Bu Haji yang kebunnya tepat berseberangan dengan rumah Rukayah. Kebun yang meski terlantar, tetap tak boleh diinjak siapa pun. Buah-buah nangka yang masak sampai berjatuhan karena tak ada yang berani mengusiknya. Membusuk sia-sia.

Rukayah membuka pintu rumahnya, menyalakan lampu dan duduk sejenak di balai-balai sembari mengunyah pisang goreng hangat pemberian Mat Hasan. Kebetulan dia tidak sempat memasak nasi, hanya ada nasi pagi yang sudah dingin. Dan rasanya, nafsu makannya sedikit hilang. Terlampau penat sebab setiap hari setelah dia berjualan bunga-bunga di dekat sebuah pemakaman, sorenya Rukayah akan melangkah ke pantai. Sebuah rutinitas yang telah puluhan tahun dijalaninya. Sendiri, semenjak Janseen pulang ke negara asalnya di negeri kincir angin sana. Janseen berjanji akan menjemputnya dan membawakan rangkaian bunga tulip untuk Rukayah. Itu yang dikatakannya lewat sahabatnya, Pieter Koch.

Biasanya, dulu jika malam menjelang, mereka berdua kerap berjalan-jalan menyusuri tepian pantai. Memperbincangkan harapan-harapan yang ruah menyesak. Bergandengan tangan, dan sesekali Janseen mengusap rambut panjangnya. Rambut yang memiliki warna eksotis, seperti juga kulitnya yang halus dan coklat menawan. Atau di lain waktu, mereka mendatangi gedung-gedung kesenian. Sekedar menonton stambul atau pentas gambang kromong. Ah, sungguh masa-masa yang tiada terulang, batin Rukayah. Dan mereka pun akan menaiki sepeda Janseen. Melenggang di jalanan kota, menyisiri keremangan malam sampai di depan Stadhuis1.

Rukayah selalu mengagumi bangunan-bangunan yang berdiri kokoh tinggi dengan pilar-pilarnya yang besar. Keangkuhan gedung itu, begitu menarik-narik keingintahuannya untuk memasuki tiap sudut ruangan. Meski dia sangat ngeri dengan riwayat sadis yang pernah menyelimuti tempat itu. Dan akhirnya, mereka memanghanya menyambangi pelataran gedung.

Jika Janseen mendapat libur dari kerjanya yang memusingkan, merancang gedung-gedung baru, mereka akan naik kereta. Mengunjungi daerah selatan Batavia yang sejuk. Memandangi hijaunya areal persawahan. Mengangankan tinggal di sana bersama sapi-sapi yang akan mereka pelihara. Sapi yang akan diperah dan diminum susunya tiap mereka bangun di pagi hari. Janseen sangat menyukai daerah selatan Batavia lantaran hawanya yang sejuk dan nuansanya yang mirip kampung halamannya. Dipenuhi tanah-tanah pertanian. Seperti juga tempat dia dilahirkan di sebuah tanah pertanian di Kraailand.

RUKAYAH tergopoh-gopoh menyiapkan bunga-bunga untuk taburan makam. Serombongan keluarga mengunjungi pemakaman dengan menaiki beberapa mobil mewah. Serombongan orang yang berpakaian hitam, berbadan tinggi besar dan berkulit putih kemerahan. Seperti kulit Janseen, batin Rukayah.

Mereka menahan langkah sejenak, menatap Rukayah, dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Rukayah. Samar-samar bahasa itu terdengar akrab di telinga Rukayah. Salah satu dari mereka, seorang wanita cantik berhidung bangir,berkerudung sekedarnya dan berkaca mata hitam menghampirinya dan berkata patah-patah.

“Boleh beli… bunga?” ucap wanita itu. Rukayah mengangguk dan segera menyiapkan sekeranjang kecil racikan kembang setaman, lalu mengangsurkannya dan berkata, “Sepuluh rebu rupiah.”

Si wanita menerima bunga dan membuka dompetnya. Lalu menyerahkan selembar uang seratus ribu. Rukayah terpaksa menarik kuncang penyimpanan uangnya dari balik stagen untuk mengambil kembalian. Lantaran gemetar tangannya yang terburu-buru, dia tidak menyadari sepotong kertas terjatuh dari lipatan kuncangnya. Selembar potret lusuh.

“Apa… itu?” ujar si wanita cantik sembari menerima kembalian. Dia lantas membungkuk untuk mengambil kertas yang terjatuh. Kertas film usang yang kekuning-kuningan dimakan usia. Namun gambar yang tercetak masih sangat jelas. Potret laki-laki muda yang rapi. Bergaya di beranda sebuah rumah. Kali ini, wanita itu terkejut. Seperti melihat hantu. Potret terhambur lepas dari tangannya. Nyaris saja keranjang bunga ikut terjatuh.

Beberapa rekannya yang mengamati kejadian itu, serta merta menghampiri si wanita sembari bertanya-tanya. Wanita itu menunjuk potret yang kini sudah tergenggam kembali di tangan Rukayah. Rukayah bengong. Apa yang salah? Apa yang keliru? Tatkala dia hendak memasukkan kembali potret itu ke lipatan kainnya, seorang laki-laki yang tua, setua dirinya, bergerak cepat menyambar potret itu. Gilirannya kini terbelalak.

“Dari mana dapat potret ini?” tanya laki-laki itu menyelidik.

“Itu, punya saya Mister. Itu potret Meneer Janseen, dia yang kasih saya buat disimpan.” Rukayah menjawab dengan kebingungan yang menyeruak. Mengapa hanya karena selembar potret, rombongan peziarah itu menjadi gaduh.

“Siapa… nama?”

“Saya Rukayah, Mister.”

“Rukayah… Rukayah, ha Rukayah!” Terdengar gemuruh orang-orang itu menyebut nama Rukayah. Mereka berpandangan dan berbicara kembali dalam bahasa mereka. Seorang lagi mendekati Rukayah dan mengangsurkan selembar potret usang ke arahnya. Kali ini Rukayah yang terbelalak. Potret dirinya! Puluhan tahun silam diberikan kepada Janseen. Masih ada beberapa potret yang sama yang disimpannya di rumah. Dia dan Janseen membuat dan mencetak foto-foto itu di sebuah studio foto di Molenvliet Straat2.

Sepenggalah waktu, rombongan itu memaksa Rukayah mengikuti mereka memasuki kompleks pemakaman. Rindang pepohonan kamboja menaungi pusara-pusara. Aroma kesunyian menyergap. Angin semilir menebarkan bau mistis pekuburan. Dan langkah Rukayah yang terseok-seok seperti dibelokkan angin menuju sebuah pusara tua yang tiada terawat.

Setelah mencari-cari, rombongan peziarah asing itu tiba di sebuah pusara yang dikelilingi rerimbunan ilalang dan rerumputan yang berbunga meliar menutupi nisan. Perlahan, beberapa orang menyibakkan dedaunan yang menghumus. Setelah beberapa kali mengusap nisan, tampak tertatah sederet tulisan yang mengguncang perasaan Rukayah. Dia tahu bunyi tulisan itu, dia tidak buta huruf. Janseen mengajarinya membaca huruf latin.

Langit berputar dalam keterkejutan, bumi bergetar dalam kegamangan dan pepohonan bergoyang bimbang. Udara terasa sempit. Bergumpal-gumpal kerinduan yang menyesak di dada Rukayah terpecah mengiringi tubuh tua itu roboh menelungkup di atas pusara. Rukayah melolong. Orang-orang memandanginya.

Perlahan suara Rukayah mereda menjadi isak tangis sampai kesadarannya lenyap. Rukayah limbung di atas pusara. Pusara kekasihnya yang tiada terjaga. Dia pingsan.

RUKAYAH siuman dan mendapati dirinya terbaring di kasur empuk dalam sebuah ruangan berdinding putih bersih. Udara dingin menguar dari alat penyejuk ruangan. Dingin. Seperti dinginnya udara Jakarta di malam hari yang dahulu kerap dilaluinya bersama Janseen. Rukayah tersadar di sebuah kamar hotel mewah, dikelilingi orang-orang yang dijumpainya di pemakaman. Agaknya menginap di situ.

Bertuturlah seorang dari rombongan itu. Janseen yang Rukayah kenal adalah sepupu mereka yang dahulu ditunggu kedatangannya kembali di Kraailand. Namun, hanya sepucuk surat yang tiba berikut selembar foto perempuan Betawi. Rukayah namanya. Janseen memperkenalkan perempuan itu sebagai calon buyut dari para cicitnya kelak.

Dua purnama lagi, tulis Janseen, ia akan naik kapal. Pulang membawa Rukayah untuk diperkenalkan kepada keluarganya. Kenyataannya, Janseen tak pernah datang, tak pernah membawa perempuan itu ke kampung halamannya. Sepucuk kawat dikirim oleh sahabat Janseen yang bertugas di Angkatan Laut Kerajaan, Pieter Koch. Sebuah trem telah memupus semua impian lelaki muda itu di jalanan Batavia.

Kebohongan kecil Pieter, telah menjadikan kisah hidup Rukayah berbeda. Rukayah meyakini cerita Pieter tentang kepergian Janseen yang lebih dahulu dari rencananya tanpa sempat mengajaknya sebab sebuah urusan penting. Janseen hanya berjanji akan membawa seikat tulip untuk Rukayah.

Pieter tak memberitahukan kabar sesungguhnya. Ia tak tega. Bahkan angin pun tak kuasa membisikkan elegi itu. Dedaunan dan ilalang enggan menggemerisikkan kabar nestapa. Sampai akhirnya Pieter juga kembali ke negerinya di masa genting, saat semua warga asing harus meninggalkan Indonesia. Diam-diam Pieter berharap, Rukayah akan melupakan Janseen dan menemukan lelaki lain, menganggap Janseen sebagai lelaki gombal yang ingkar janji.

Namun Rukayah tetap dalam penantiannya.

Demi janji yang telah terucap, Rukayah setia menanti di tepian bandar Batavia. Tegak bergeming laksanan nyiur. Dari mulai perahu nelayan yang berlalu lalang, hingga kapal-kapal dagang yang perkasa di lautan, Rukayah menghitung tiap senja. Terus menghitung bersama nuansa Batavia yang baru, Jakarta.

“Maafkan Janseen, Rukayah,” ucap seorang kerabat Janseen.

Rukayah mengangguk perlahan. Impiannya kini benar-benar pupus. Begitu terlambat untuk mengetahuinya. Sampai-sampai tak perlu lagi air mata diuraikan. Rukayah tabah. Baginya, kenangan bersama Janseen telah memberikan kekuatan maha dahsyat sedemikian lamanya dalam menghadapi cibiran dan menjalani perputaran roda kehidupan. Rukayah memutuskan akan tetap begitu hingga dia menyusul ke alam baka. Menjumpai Janseen di kehidupan kedua, melanjutkan perjanjian mereka di dunia.

Rombongan kerabat Janseen menawari Rukayah untuk ikut dan tinggal di negeri kincir angin. Tetapi perempuan itu menolak dengan halus. Dia hanya minta dikirimi seikat bunga tulip.

Tatkala kiriman bunga itu tiba, layu dalam perjalanan, perempuan tua itu meletakkan sebagian di atas pusara Janseen. Sebagian lagi dia simpan menjadi potpouri dalam sebuah kotak kayu berlapis kain beludru merah. Potret lusuh Janseen ikut disimpan di kotak itu, menjadi sebuah memoar yang tak berwaris. Harta berharga Rukayah yang tidak lagi tersimpan di stagennya lantaran penantian itu ternyata fatamorgana.

TIAP senja, Rukayah tidak terlihat lagi berdiri di tepian laut. Pantai mulai merindukannya, karena perempuan itu tidak lagi menemani camar-camar yang riuh melayang di atas biru laut yang dengan cepat menjadi keruh. Dan pantai mulai tak sabar serta mengutuk perempuan tua itu. Atau justru pantai jengah dengan kesetiaan Rukayah dan meratapinya bersama sampah-sampah yang ikut terserak.

Seharian penuh Rukayah akan berada di pemakaman. Menanti para peziarah membeli bunga dagangannya. Dan kini, Rukayah menjalankan rutinitas baru. Membersihkan makam Janseen. Menaburinya dengan segenggam melati putih, bunga yang dulu dipuja Janseen sebagai hiasan konde cepolnya.

Setelah membersihkan dedaunan yang berguguran di atas pusara, Rukayah pulang saat langit di ufuk barat menjingga. Terlebih dahulu dia menyelimutkan seutas selendangnya di atas pusara hingga menutupi nisan. Dan kemudian perlahan, malam datang mengendap, merapatkan jubah kelamnya mendekap pusara dari hiruk pikuk Jakarta serta mengakhiri satu cerita hari itu.

“BAGAIMANA dengan nasib Rukayah selanjutnya, Cang?” anak kecil itu bertanya.Mat Hasan memandang cucu buyutnya dengan tenang. Anak kecil itu gelisah menanti cerita selanjutnya yang masih mengambang. “Apa dia masih hidup? Encang tak pernah mau menceritakan kelanjutannya,” tanya cucunya lagi.

Mat Hasan menggeleng. Hatinya perih. Dia berkali meminang perempuan itu namun berkali pula ditolak. Sampai akhirnya, seorang perempuan lain mengisi ceruk hatinya.

Suatu saat perempuan itu tertelungkup di atas pusara kekasihnya sampai berhari-hari. Tak ada yang mengetahuinya, meski burung-burung gagak ramai berkaok. Ah, burung gagak di atas pekuburan, hal yang biasa, pikir orang-orang. Namun ketika penjaga makam yang jarang-jarang muncul, sedang kebetulan datang, datang ketika musim ziarah menjelang puasa tiba, barulah ketahuan nasib perempuan itu. ***

1.Balaikota

2.Jalan Molenvliet, sekarang Jalan Gajah Mada di Jakarta

Cerpen ini dimuat di harian Suara Merdeka, 26 Agustus 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline