Lihat ke Halaman Asli

Apa Bedanya Kambing dengan Dokter di Indonesia?

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Kamis 7 Maret 2013 mungkin merupakan momen yang tepat menurut penulis sebagai momen ketika profesi dokter di Indonesia telah mencapai titik terendah di dalam peradaban bangsa Indonesia. Pada hari itu, Jawa Post National Network dalam beritanya mengutip ketua komisi IX DPR RI Dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati (F-PDIP) dalam suatu diskusi di gedung DPR RI yang menyatakan bahwa dokter lebih jahat dari polisi lalu lintas. Pemberitaan itu menimbulkan banyak reaksi karena ketika itu pemberitaan negatif mengenai profesi dokter mengalami peningkatan. Reaksi pembenaran datang dari berbagai masyarakat yang mengaku memiliki pengalaman buruk dengan dokter dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, sementara tentu saja perlawanan datang dari kebanyakan dokter di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemudian dalam suratnya tertanggal 15 Maret 2013 meminta klarifikasi pernyataan tersebut namun hingga tulisan ini dibuat, dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta ini belum memberikan klarifikasi dan berbagai pro dan kontra terus berlangsung.

Hari Kamis 7 Maret 2013 adalah hari ketika profesi dokter Indonesia telah terhinakan tanpa ampun. Pada hari itu sudah jelas bahwa masyarakat, penguasa, media , politisi bahkan sejawatnya sendiri telah menghinakan profesi yang seharusnya mulia ini. Profesi dokter di Indonesia dalam pekerjaannya yang penuh dengan risiko tertular penyakit, mengalami kecelakaan kerja, pagi-siang-sore-malam tanpa henti yang kemudian masih harus berhadapan dengan penguasa yang memberikan jam kerja yang tidak proporsional, upah yang tidak proporsional, jumlah pasien membludak berkat sistem pelayanan kesehatan gratis tanpa persiapan sistem dan fasilitas yang baik demi memenuhi janji kampanye, tidak merata distribusi infrastruktur yang mendukung pelayanan kesehatan hingga ke pelosok desa; kemudian tekanan-tekanan pekerjaan dari berbagai preman berwujud lembaga swadaya masyarakat, lembaga bantuan hukum, partai politik, organisasi kemasyarakatan yang mengancam dokter secara pidana, perdata, adat istiadat dan sebagainya sementara pemerintah daerah, kemenkes dan jajarannya serta pihak pengelola rumah sakit cenderung membuang kesalahan sistem kepada lini terdepan sistem yaitu dokter; ditambah media yang mengagungkan kebebasan pemberitaan sambil mengangkangi kode etik jurnalistik, yang tiba-tiba amnesia dengan kementerian kesehatan dan jajarannya serta pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan, terus menggaungkan betapa dokter sebagai pelaku utama pelayanan kesehatan adalah sasaran empuk kritisi sistem kesehatan. Jarang sekali mereka mengabarkan betapa terjalnya perjuangan dokter puskesmas di tingkat pelosok, bagaimana pemahaman masyarakat terhadap paradigma sehat yang dicanangkan pemerintah, bagaimana nasib kesejahteraan dokter di Indonesia, benarkah pendidikan dokter demikian mahal hingga nanti ketika lulus akan bermental komersil kepada pasien, bagaimana sebenarnya sistem kesehatan di Indonesia, apa yang dimaksud malpraktek, apa saja hak pasien untuk menghindari malpraktek, dan sebagainya manapun itu yang sifatnya mencerdaskan masyarakat. Masyarakat hanya mendengar sayup berita mengenai buruknya dokter di suatu tempat tanpa informasi lengkap dan tanpa bersifat kritis dan skeptis, kemudian ikut panas dan tidak sedikit hadir di tengah kelabu kontroversi sebagai asap hitam lain. Tidak ada satupun yang berusaha untuk menjadi penerang.

Semua ini bisa dikatakan kejahatan kemanusiaan yang sistematis dalam mengkerdilkan hak dokter sekaligus membesarkan tanggung jawab dokter di semua pojok kesalahan sistem kesehatan. Dari pernyataan profesi dokter adalah profesi mulia yang tidak mengharapkan balas kasih menjadi eksploitatif: dokter harus tidak mengharapkan balas kasih dan tidak perlu dikasihi. Seperti kambing. Pasien datang berobat, harap diobati sampai sembuh. Pasien tidak nyaman sedikit saja, golongan Anda dianggap gagal dan harus dianggap malpraktek untuk kemudian dicemooh. Bagi yang tidak setuju maka dianggap pro dokter Indonesia, kemudian juga dicemooh. Intinya masyarakat Indonesia anti dengan dokter. Walau demikian, sebagian besar masih berobat ke dokter di Indonesia.

Dalam posisi seperti ini, tetap ada dokter dengan dedikasi tinggi menerobos kemelut kontroversi dengan terus bekerja seperti biasa. Ada yang memang telah memaklumi situasi seperti ini, ada yang memang merasa sudah tidak mungkin tersentuh hal-hal sepele seperti masalah-masalah yang dialami dokter umum di tingkat daerah, ada yang tidak tahu harus ke mana mereka harus berteriak menyuarakan hak mereka sebagai sesama manusia sambil terus bekerja. Bagaimanapun posisi mereka, mungkin juga mereka tidak tahu bahwa mereka ibarat kambing potong, ada banyak pasal pidana dan perdata yang dapat mengancam mereka kapanpun dalam rangka mereka menjalankan tugasnya. Belum lagi ancaman penguasa untuk mencuci tangan terhadap sistem kesehatan yang mereka sedang jalani. Beginilah situasi menjadi dokter di Indonesia: siap menjadi kambing. Kambing hitam dan kambing potong.

Masih mau menjadi dokter di Indonesia? Profesi mulia yang tidak dimuliakan? Tentu ada beberapa dari dokter adalah oknum yang memberi preseden buruk kepada profesi dokter, tetapi hanya profesi dokterkah yang seperti itu? Dan adilkah ulah oknum dikatakan mencerminkan dokter secara umum?

Dan ketika tidak ada lagi dokter di Indonesia, siapa yang akan disalahkan media, masyarakat dan pemerintah terhadap sistem kesehatan yang mereka jalankan?

Ya kambing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline