Lihat ke Halaman Asli

Ircham Arifudin

Kompasianer Brebes Club (KBC-53): penulis receh sekaligus penikmat kopi tanpa gula

Tradisi Syrakalan dan Mahallul Qiyam saat Muludan

Diperbarui: 13 Maret 2020   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syrakalan & mahallul qiyam

Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi dirayakan dengan berbagai tradisi di berbagai daerah dan negara di dunia. Suka cita, akulturasi agama dan budaya sangat kental terasa dalam perayaan tersebut. Secara umum, peringatan maulid Nabi diadakan pada bulan Rabiul awal (mulud/bulan kelahiran Nabi SAW) setiap tahunnya dengan memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi SAW, puji-pujian, tradisi muludan dengan membaca kitab Al-Barzanji, Ad-Diba' (dibaan), burdah, manakib dan masih banyak kitab-kitab lainnya. Tradisi dibaan adalah tradisi pembacaan kitab maulid Diba' yang dikarang oleh Imam Ibn Diba'. Tradisi Dibaan biasanya diisi dengan membaca kitab maulid dibah yang dipadukan dengan iringan alat musik seperti rebana wa akhwatuha.

Kegiatan ini biasanya dihadiri oleh kaum/jamaah pria semua umur, dari yang Bapak-bapak, pemuda, remaja, sampai anak-anak. Tradisi dibaan/muludan tidak hanya dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal saja, di banyak tempat dibaan dibaca di masjid/musholla tiap malam jum'at, alat musik pengiring yang digunakan pun berbeda-beda tiap tempatnya, ada yang hanya menggunakan empat buah rebana (jawa: terbang) atau di daerah penulis dikenal dengan istilah "kencer/genjring", ada yang menggunakan alat musik hadroh, dan masih ada beberapa musholla yang menggunakan Syrakalan seperti yang malam jumat kemarin (12/03/2020) dilaksanakan oleh kaum Musholla Al-Ihya Desa Kertasinduyasa Kecamatan Jatibarang Brebes.

Srakalan merupakan tradisi pembacaan maulid diba' (dibaan) yang mengharmonisasikan syair-syair pujian kepada Allah dan Rasul-Nya dengan alat-alat musik seperti terbang jawa (rebana besar), induk, kencer, genjring dan kentung. Syrakalan merupakan kata serapan dari kata "Asyraqal" (bahasa Arab), atau lengkapnya Asyraqa Badru Alainaa dst, kalimat ini menjadi bacaan pembuka ketika para Jamaah Dibaan berdiri (mahallul qiyaam), sehingga kata Asyraqal oleh orang-orang jawa dulu disebut dengan Syrakalan. 

Pembacaan doa setelah muludan

Warga Nahdliyyin sudah akrab dengan istilah Mahallul Qiyam, berarti saatnya untuk berdiri. Berdiri untuk menghormati sesuatu sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang, orang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya, pada waktu yang lain ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan maka seluruh peserta diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain hanya untuk menghormati bendera Merah Putih dan untuk menghormati para pejuang bangsa. Demikian pula dengan berdiri ketika membaca Dibaan. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah yang paling mulia. 

PAC GP Ansor Jatibarang

Selain acara muludan (di bulan Rabiul Awal) dan tradisi Dibaan/Muludan, Syrakalan juga diadakan pada moment-moment penting, seperti dalam acara Puputan/Walimatul-Aqiqah (sedekah potong kambing sekaligus pemberian nama terhadap bayi yang baru lahir), Arak-arakan Penganten, Arak-arakan Sunatan hingga menjelang anak disunat, Mudun Lemah (injak bumi) bagi balita yang mulai belajar berdiri, menyambut kedatangan tamu spesial, dan acara-acara hari-hari besar lainnya. 

KCB-53

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline