Lihat ke Halaman Asli

Penyakit Mental Bangsa

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sampai saat ini belum ada pemimpin Indonesia yang betul-betul paham bagaimana memajukan Indonesia. Meskipun Jokowi adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat, visinya selama ini belum benar-benar mengena untuk membangun Indonesia ke depan, meskipun arahnya sudah benar

Dapat dikatakan bahwa Jokowi diharapkan dapat memberikan pondasi ke depan. Salah satunya adalah Revolusi Mental, walaupun harus dapat diejawantahkan secara jelas apa langkah-langkah untuk me-revolusi mental bangsa ini.

Memang mental bangsa ini buruk, kalau mau jujur dan tidak usah sakit hati, karena salah satu penyakit bangsa ini adalah terlalu sensitif, mudah tersinggung, dan sakit hati. Kalau sudah sakit hati akan mendendam dan dendam terus diasah menjadi konflikatau benturan fisik atau caci maki.

Selain itu penyakit mental masyarakat Indonesia adalah tidak bisa diatur. Disediakan jalur busway, diserobot. Disediakan jembatan penyeberangan,nyebrang dijalanan sembarangan. Disediakan halte bus, turun dimana saja dia mau. Apalagi kalau sudah soal antrian, diserobot, itu masih sering terjadi.

Penyakit mental berikutnya adalah tidak jujur. Ini sudah mengakar, mulai dari kelas teri sampai kelas tuna, banyak orang bermental tidak jujur.Kalau kita ke daerah-daerah pariwisata, kita dapat menjumpai orang-orang kecil yang tidak jujur kalau berhadapan dengan tamu/turis,salah satunya dengan mengambil biaya yang lebih mahal dari harga sebenarnya, malah sering disertai aji mumpung, kalau bisa diperas, diperas saja sekalian. Tidak memikirkan dampak jangka panjang, bahwa hal tersebut mematikan sumber pendapatan mereka sendiri nantinya. Banyak daerah pariwisata yang kemudian mati suri karena turis-turis asing tidak mau datang, setelah beredar kabar sering terjadi pemerasan oleh penduduk lokal.

Itu baru orang-orang kecil, apalagi pejabat diatasnya, ya kita sudah tau sendiri kelakuannya, silakan buka catatan korupsi yang dilakukan para anggota dewan. Itu baru yang ketahuan, masih banyak yg belum ketahuan. Tentaranya? Sama juga, coba saja datang ke Bandara Juanda, apabila anda naik mobil pribadi anda tidak akan melihat apa-apa, tapi coba berada dalam mobil/bus pariwisata, akan terlihat salam tempel antara sopir dengan anggota TNI disana kalau mau masuk. Ini mungkin juga terjadi di bandara- bandara lainnya di Indonesia dalam bentuk lain. Tujuan salam tempel? Saya tidak tahu, tanyakan langsung kepada para pelakunya.

Penyakit mental lainnya lagi adalah terlalu banyak komentator tapi miskin yang melakukan tindakan. Apabila ada kebijakan pemerintah mau dilaksanakan, mulailah muncul komentator-komentator seakan-akan yang paling ulung.Kebijakan di sanggah dulu, di lawan dulu, tolak dulu, tanpa melihat bagaimana sebenarnya. Yang penting di tolak dulu. Kita bicara kebijakan yang baiktentunya, bukan kebijakan seperti rencana UU Pilkada DPRD, tapi kebijakan seperti,pemasangan road pricing machine, denda parkir tinggi, atau kebijakan lainnya yang memang tujuannya baik. Alih-alih dicoba dulu baru diperbaiki, ini yang penting di sanggah dulu, padahal yang menolak tidak memberikan solusi apapun.

Yang terakhir adalah penyakit tidak toleran terhadap perbedaan. Suka menggunakan dalil agama bahwa perbedaaan adalah rahmat. Padahal kalau bisa bersatu, pasti lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline