Entah kenapa pada saat shalat Iedul Adha tadi pagi aku sangat menikmati suasana kesakralannya, sampai air mataku terjerembab tak menetes, terlebih di saat gemuruh takbir berkumandang mengagungkan keesaan-Nya di masjid Al-Azhar Jaka Permai, ya, karena tiba-tiba memoriku melayang kembali mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupanku khususnya dalam perjalanan ibadah haji yang telah aku lalui dengan sangat indah melalui kandungan-kandungan hikmah yang aku genggam erat untuk direnungkan.
Salah satu deretan peristiwa hajiku yang mengandung banyak pelajaran adalah sewaktu diriku dan kedua kawanku hendak mencari tenda kemah kedua pamanku dan rombongannya di padang Arafah. Waktu itu perjalanan kami dimulai setelah shalat Isya, tepatnya dari Jarwal –tempat aku menginap- menuju Arafah, ternyata perjalanan waktu itu agak sedikit tersendat, karena kendaraan yang kami tumpangi mogok di tengah jalan dan harus dibawa ke bengkel, padahal kami harus mengejar waktu jangan sampai setelah fajar kami tidak berada di Arafah, yang merupakan batas akhir memasuki awal wukuf.
Semua kami lalui dengan sabar, akhirnya sampai juga di Arafah, ternyata memang Allah sedang menguji sejauhmana tingkat kesabaran kami bertiga. Kami pun diuji kembali, sesampainya di Arafah kami kebingungan mencari satu tenda dari ratusan ribu tenda jama’ah dari seluruh dunia yang ada di Arafah waktu itu, hanya bermodal nomer hamam [kamar mandi], itupun kami mendapatkan saran dari muqimin [orang Indonesia yang tinggal di Saudi], mereka bilang bahwa jika kebingungan mencari tenda di Arafah salah satu kunci yang paling masuk akal adalah mengetahui nomer hamamnya, “insya Allah ketemu” mereka meyakinkan kami.
Entah sudah berapa kilometer perjalanan kami bertiga menyusuri setapak demi setapak sisi padang Arafah yang luas itu, tak terasa sudah lima jam kami berjalan kaki mencari tenda yang tak kunjung menemui titik temunya, dari jam sebelas malam sampai jam empat pagi kami tak istirahat terus mencarinya, dalam pencarian itu ternyata sebagian sifat asli kami terkuak, ada yang sabar, egois, suka memarahi orang lain dan lain-lain. Terlihat mana kawan yang sebenarnya dan mana yang hanya sekedar kawan biasa.
Dalam pencarian selama lima jam tersebut akhirnya kami sampai juga ke tenda yang dituju –tenda paman dan rombongan-. Kami sadar meskipun hanya bertiga namun harus ada yang mengendalikan sebagai pemimpin jalan, agar bisa terarah dan terorganisir dengan baik semua yang direncanakan. Kami pun berkontemplasi, menyadari betul semua kesalahan kami bertiga, kesabaran yang tak kenal putus asa mungkin itu adalah salah satu kunci sukses kami sampai di tujuan yang dinanti, yang kemudian aku jadikan salah satu quote dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini.
[caption id="" align="alignnone" width="604" caption="Istirahat sejenak di tenda Arafah karena kelelahan dalam perjalanan lima jam itu "][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H