Kisah ini bukan pengalaman saya. Saat bencana tersebut melanda saya masih berumur 8 tahun. Tak tahu apa yang sedang terjadi kala itu, saya hanya ingat tangan saya ditarik kuat oleh nenek berlindung ke mesjid. Di mesjid lantai dua tersebut, lantai dua diisi dengan anak-anak dan wanita. Sedangkan lantai pertama diisi laki-laki. Kala itu gemuruh takbir dan doa terucap dari seluruh jemaah dengan bibir yang bergetar.
24 Desember 2004...
Saya masih tak terlalu paham apa yang terjadi kala itu. Daerah kami memang dilanda gempa yang begitu hebat namun, gelombang tsunami tidak sampai ke tempat tinggal saya kala itu.
Saat duduk di bangku SMP, saya sadar betapa ngerinya bencana tsunami saat itu. Bahkan beberapa teman saya sempat mengalami trauma hingga tak berani melihat laut sampai mereka duduk di bangku SMA.
Ketika kuliah dan memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan banyak orang. Saya dipertemukan dengan seseorang yang dulunya pernah menjadi relawan saat bencana terbesar di abad 21 itu.
Kisahnya bermula di tanggal 28 Desember 2004....
Tsunami terjadi di tanggal 26 Desember 2004 bertepatan dengan hari Minggu. Dua hari pasca tsunami teman saya datang ke Aceh. Ia masih berusia 23 tahun dan berasal dari lembaga swadaya masyarakat yang tergerak untuk membantu.
Sebut saja namanya A. A mendarat di Aceh tepatnya di bandara daerah Blang Bintang. Kala itu yang ia saksikan hanya manusia dengan mata yang hampa dan merasa hilang tujuan. Daerah Blang Bintang memang terletak di perbukitan. Sehingga, tak terjangkau oleh gelombang tsunami.
Awalnya ia mengira kondisi di Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh sama saja dengan bencana-bencana pada umumnya. Ternyata yang ia lihat jauh dari ekspektasi.