Lihat ke Halaman Asli

Irhamna Mjamil

TERVERIFIKASI

A learner

Apakah Demo RUU Cipta Kerja Sudah Benar?

Diperbarui: 16 Oktober 2020   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu pasal dalam draft RUU Cipta Kerja (Dokpri)

Demo RUU cipta kerja menjadi trending topik di Indonesia. Saya yakin diantara pendemo pasti hanya ikut-ikutan tanpa membaca terlebih dahulu RUU cipta kerja. Temuan survei Indometer menunjukkan sedikit sekali publik yang mendengar atau mengetahui tentang omnibus law. Hanya 31,2 persen publik yang tahu, sebagian besar sebanyak 68,8 persen tidak tahu RUU cipta kerja. Hal tersebut sangat disayangkan karena banyak sekali hoaks dalam RUU cipta kerja yang didalangi entah siapa. 

Polemik yang mendasari demo salah satunya adalah dihapuskannya Upah Minimum Provinsi (UMP) digantikan dengan Upah Minimum Kota (UMK). Hal tersebut tidak sesuai dengan RUU cipta kerja, Upah Minimum Kota (UMK) harus lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh Gubernur. Gubernur wajib menetapkan UMP berdasarkan variabel perhitungan pertumbuhan ekonomi.

Jadi polemik tersebut tentu saja salah. Pasal 88G juga memberikan sanksi kepada gubernur yang berbunyi "Dalam hal Gubernur tidak menetapkan upah minum dan atau upah minimum Industri padat karya dan atau menetapkan upah minimum dan atau upah minimum Industri padat karya tidak sesuai ketentuan maka akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan".  

Hal yang dipermasalahkan berikutnya adalah upah yang dibayarkan per jam. Hal tersebut menjadikannya meme yang disandingkan dengan open BO (Booking Online) yang dilakukan oleh PSK. RUU cipta kerja pasal 88B berbunyi "Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan atau satuan hasil". Jadi tidak benar RUU cipta kerja membayar upah per jam.

Saya heran kenapa publik baper dengan upah yang dibayar per jam. Logikanya jika gaji karyawan X adalah Rp. 1.800.000 dengan jadwal kerja 7 jam per hari selama 26 hari. Maka jika dihitung Rp. 1.800.000 dibagi 26 hari adalah Rp. 69.000 per hari. Jika disamakan dengan jam, Rp. 69.000 dibagi 7 jam maka Rp. 9.900. Jadi karyawan X diupah sebanyak Rp. 9.900 per jam dengan jadwal kerja 7 jam per hari.

Adanya demo RUU Cipta Kerja di Jakarta mengundang mahasiswa dan berbagai elemen di daerah untuk turut mengadakan demo juga. Hoaks yang beredar di aplikasi tiktok adalah Letjen Purn Prabowo Subianto selaku menteri pertahanan mendukung demo RUU Cipta Kerja. Hal ini tentu bertolak belakang dengan wawancara beliau dengan Kompas TV.

Dalam wawancaranya beliau mengatakan jika para pedemo tidak sepenuhnya membaca draft RUU Cipta kerja dan termakan hoaks yang beredar. RUU Cipta Kerja dibentuk atas landasan untuk memperbaiki ekonomi yang goyang akibat pandemi Covid 19. Hal ini dapat dilihat pada bagian keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi. Tujuannya tentu saja ingin menarik banyak investor dan mememajukan perekonomian Indonesia. 

Demo yang dilakukan oleh banyak elemen tentu saja tak semuanya tulus. Jika demo tulus untuk memperjuangkan hak-hak buruh dan rakyat kecil mengapa ada vandalisme? Ada sekelompok oknum yang merusak fasilitas umum tersebut entah itu yang ikut berdemo atau bukan. Nyatanya merusak fasilitas umum sama saja menyusahkan rakyat kecil karena sebagian besar fasilitas umum digunakan oleh mereka.

Tak sampai disitu, oknum tersebut juga menyebarkan meme di sosial media Instagram yang berbunyi "Perusakan fasilitas umum sama dengan vandalisme, perusakan hutan sama dengan pembangunan". Manusia yang tidak berpikir tentu akan membenarkan aksi vandalisme tersebut. Padahal membandingkan dua hal yang salah tetap saja salah, tak ada yang lebih baik di antara keduanya. 

Di beberapa daerah demo RUU Cipta Kerja malah diplesetkan dengan tuntutan memecat salah satu kepala dinas terkait. Tentu hal ini sangat menggelikan, ibarat ada udang dibalik batu maka demo yang satu ini ada modus di balik demo RUU cipta kerja. Jadi apakah Demo RUU Cipta Kerja sudah benar? Hal tersebut kembali pada diri masing-masing dan menilai fakta yang ada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline