Reformasi, Pandemi, dan Pendidikan Masa Depan
Pendidikan pada dasarnya dituntut terus berevolusi agar mampu menjawab tantangan, menyelesaikan problematika, dan memahami pembaharuan dari dinamika zaman. Semakin bertambah usia zaman pada saat yang sama muncul pula produk-produk yang bersifat out of the box (sesuatu di luar kebiasaan, paradoks, dan di luar batas nalar) sehingga kehadiran pendidikan dirasa amat krusial untuk mengkover semuanya. Tak sampai di situ, adaptasi dan kesadaran diri akan itu juga menentukan nasib manusia "sejahtera" atau "kewalahan". Konsekuensi perkembangan peradaban tidak bisa dihindari, yang oleh karena itu, pendidikan harus berjalan satu arah supaya implikasinya mampu mengatasi semuanya.
Siapapun meyakini bahwa hanya pendidikan yang mempunyai wilayah strategis dan efektif untuk mencetak generasi yang unggul. Muda-mudi yang siap menghadapi tantangan dan peka terhadap perubahan. Pengamat atau praktisi pendidikan pun mendambakan manusia yang sudah ditempa di dalamnya mampu mengemban amanah bangsa dan merawat martabatnya. Hal ini memang tidak mudah apalagi tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan di negara kita terbilang cukup pas-pasan. Bagaimanapun, pendidikan harus tetap berjalan dan konsisten, yakni berupaya mencetak generasi emas yang mampu bersaing dan berkompeten dalam mengelola aneka perubahan.
Pendidikan di Masa Pandemi
Selama dua tahun, dunia pendidikan kita telah diuji oleh kehadiran pandemi. Kondisi yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Peristiwa yang membawa konsekuensi-konsekuensi besar di seluruh penjuru negeri, di mana lembaga pendidikan kita didesak untuk dapat beradaptasi dan melindungi keberlanjutan iklim belajar akibat pengaruh wabah yang bernama COVID 19. Saat itu pula, prosedur pembelajaran di seluruh wilayah pendidikan menggunakan media virtual. Zoom, Google meet, dan Teleconference menjadi satu-satunya opsi yang harus diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran di setiap level pendidikan.
Lewat teknologi mutakhir saat ini, setidaknya hal itu telah membantu umat manusia milenial dalam mengelola kehidupannya. Kita dapat berkomunikasi dan berinteraksi melalui benda yang mungkin tidak pernah terpikirkan yang disebut gadget dengan orang jauh serta melihat muka lawan bicara melalui layar virtual. Kecanggihan teknologi hari ini memang berhasil mengubah pola-pola konvensional menjadi lebih praktis dan efisien. Inilah yang disebut dengan dunia pasca-modern, di mana polifungsi teknologi lebih banyak digandrungi untuk pergerakan sosial, ekonomi, politik, tak terkecuali pendidikan.
Meski perkembangan teknologi mampu menembus batas, faktanya sebagian besar lini pendidikan kita belum mampu memanfaatkannya secara maksimal. Ketika pandemi COVID-19 berlangsung, tidak sedikit sekolah baik itu di desa atau di kota terpaksa tutup karena tidak memiliki sarana prasarana yang memadai dan kemampuan SDM dalam mengoperasikan teknologi pada proses pembelajaran. Alhasil, beberapa lembaga pendidikan pun memilih libur, alias berhenti menjalankan aktivitas belajar mengajar. permasalahan ini yang barangkali luput dari pengamatan dunia pendidikan kita bahwa sebenarnya teknologi bukan faktor yang paling utama untuk menentukan lancar atau tidaknya proses pendidikan selama pandemi, melainkan ada yang lebih prioritas, yakni sarana prasarana dan kesiapan SDM nya.
Sutanto, et.al (2020)dalam penelitianya pada jurnal Geomedia menjelaskan, terpenuhinya kebutuhan teknologi di sebagian besar negara baik berkembang atau maju tidak menjamin bahwa aktivitas pendidikanya melampaui lancar dan optimal melainkan ada beberapa faktor yang jauh lebih penting, yakni soal kesiapan sarana prasarana dalam merespon fenomena tak terprediksi dan kesiapan SDM manusianya dalam merespon fenomena tersebut. Penelitian ini secara spesifik membahas bagaimana kondisi dan respon dari enam negara yaitu Indonesia, Ethiopia, Filipina, Nigeria, Finlandia, dan Jerman terkait aktivitas pendidikan saat pandemi berlangsung.
Harus Bagaimana Masa Depan Pendidikan Kita?
Pendidikan kita sekarang memasuki fase transisi new normal, sebuah masa di mana kondisi dan situasi kembali seperti sebelum COVID-19. Selain new normal, fase ini juga bisa disebut sebagai post-pandemic atau setelah pandemi, masa transisi dari pandemi ke endemi yang ditandai dengan membiasakan protokol kesehatan, perubahan pola kehidupan manusia, hingga pergerakan lebih condong ke trend digitalisasi. Ya, akibat COVID-19, ada sisi positif yang bisa dipetik. Pertama, orang-orang lebih menghargai kesehatan. Kedua, memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Terakhir, memerankan media sosial untuk mata pencaharian.
Sejauh ini, Menteri Pendidikan dan kalangan praktisi akademisi telah menawarkan sekaligus menganjurkan pembaharuan pada sistem pendidikan dengan perpaduan gaya belajar konvensional dan digitalisasi (memanfaatkan berbagai macam media). Akan tetapi, gagasan itu nampak belum mengimplikasi sepenuhnya di eksekutor pendidikan, entah itu guru, dosen, atau tenaga pengajar pada umumnya. Pasalnya, banyak tenaga pengajar belum paham betul terkait meta peranan dan fungsi implementasi digital. Ditambah lagi dengan sarana prasarana yang tidak memadai dan SDM yang tidak mendukung. Hal ini sangat tidak logis dan butuh dievaluasi lagi.