PR Sekolah dihapus, Tepat atau Salah Sasaran?
Ingat! PR Sekolah adalah produk sekolah itu sendiri . Kalau diganti, maka sekolah perlu mendesain instrumen baru yang lebih menjamin mutu pendidikan sekolah dan peserta didik.
Tajuk pilihan kompasiana ini menarik dunia akademisi, terutama kalangan civitas sekolah untuk membeberkan ide dan gagasan terkait penghapusan PR, menguntungkan atau justru merugikan?
Hal ini sekaligus mendorong daya kritis civitas sekolah setelah dua tahun terakhir disapu dampak COVID 19 yang menyebabkan motivasi belajar mengajar menurun untuk mendesain model pembelajaran terbarukan.
Mulai dari mengembangkan kurikulum, merombak gaya model belajar, dan memangkas sejumlah instrumen yang mungkin tidak lagi relevan. Seperti, meniadakan PR sekolah.
Kalau ditelusuri, buntut penghapusan PR sekolah mengacu pada keluhan peserta didik, di mana ada banyak tugas sekolah yang diberikan guru selama implementasi pembelajaran jarak jauh.
Pada saat yang sama, komponen dan perangkat belajar mengajar, seperti digital learning, aplikasi, dan jaringan internet belum sepenuhnya memadai menghasilkan pembelajaran yang efektif dan efisien. Sehingga, fenomena ini menjadi titik pro kontra akan tepatkah PR ditiadakan untuk mengurangi beban peserta didik.
Perlu dipahami bahwa PR sekolah merupakan bagian instrumen penting untuk menunjang perkembangan peserta didik selama bersekolah.
Di beberapa negara, seperti China, Finlandia, dan Jepang yang terkenal akan mutu pendidikannya pun masih menerapkan PR sekolah sebagai bahan evaluasi dan tolak ukur pemahaman materi.
Sementara, negara kita sendiri, Indonesia yang tingkat minat baca dan belajarnya masih rendah, malah hendak menghapus PR.
Hal ini justru tidak berbanding lurus dengan visi dan misi dari kurikulum pendidikan yang menekankan orientasi pengembangan potensi peserta didik, kreativitas, dan keterampilan.