Lihat ke Halaman Asli

Professor Budi Darma, "Saya Menjadi Pengarang Karena Takdir"

Diperbarui: 17 Juni 2023   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Professor Budi Darma dari JurnalFootage.net

Saya meminjam judul dari kata-kata Prof. Dr. H. Budi Darma, M.A. (25 April 1937 – 21 Agustus 2021).

Sastrawan, kritikus sastra dan akademikus Indonesia yang pernah bekerja sebagai dosen dan guru besar di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya) sejak tahun 1963.

Beliau penulis serba bisa. Karyanya berbentuk cerita pendek, novel, esai, dan puisi yang tersebar di berbagai media massa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan sebagian besar sudah diterbitkan. 

Namun, Professor Budi Darma lebih dikenal sebagai cerpenis, novelis, dan esais. Sebagai novelis, Budi Darma dianggap memelopori penggunaan teknik kolase, yaitu teknik penempelan potongan iklan bioskop dan tiket pertunjukan dalam karya-karyanya, seperti dalam Orang-Orang Bloomington dan Olenka. (Ensiklopedia Kemendikbud)

Kiblat Sastra

Bandung Mawardi dalam Budi Darma, Cerita Pendek dan Novel , LensaSastra.id

Pada masa 1980-an, Budi Darma menjadi pengarang tangguh dan berpengaruh. Ia tak selesai pada masa lalu. Pada abad XXI, ia terus menulis cerita pendek dimuat di Kompas dan Jawa Pos. Ia masih saja menjadi pikat bagi kesusastraan Indonesia bertambah daftar pengarang idaman dan buku-buku mumpuni. 

Budi Darma masih “kiblat” bagi para pengarang ingin mengetahui hal-hal pelik dalam sastra Indonesia, dari masa ke masa. Begitu. 

Takdir Jadi Pengarang

Irfan Teguh dalam "Obsesi Menulis Budi Darma & Keterusterangannya sebagai Kritikus", Tirto.id

“Saya menjadi pengarang karena takdir,” tulis Budi Darma dalam Solilokui (1984). Bakat, kemauan, kesempatan menulis, bahkan hambatan untuk menulis pun, terangnya, semuanya adalah rangkaian takdir, dan ia menundukkan kepala kepadanya. Ia merasa tak bermanfaat dan berdosa jika tidak menulis. 

Dalam dirinya ada paksaan untuk menulis dan ia tak dapat mengelak dari paksaan itu. Apabila tak menulis, ia merasa telah mengkhianati takdir. Namun, di sisi lain, ketika ia mempertanyakan takdir, ia tersadar bahwa dirinya hanyalah manusia terkutuk. “Kepengarangan bukanlah kebahagiaan bagi saya, tapi justru kesengsaraan,” ungkapnya.

Petuah Sang Maestro

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline