Lihat ke Halaman Asli

Hari Anak? Lalu Bagaimana Dengan Anak Para Tersangka 'Teroris'?

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Rasakan dalam jiwa kita yang paling dalam dan bayangkan bila kita adalah anak-anak yang dituduh teroris oleh negara dan masyarakat. Dicibir, dipinggirkan bahkan diintimidasi secara psikologi.

Tak bolehkan mereka sama seperti kita yang hidup tanpa stigma yang melekat dijidat, bercengkrama tanpa ada rasa curiga dan mata yang selalu melihat dengan tatapan menghina. Mungkin itu hanya mimpi saya, karena masyarakat yang tidak pernah tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, menerima begitu saja apa yang diberikan oleh penguasa dan media, bahwa teroris harus dibasmi bahkan anak-cucunya pun mendapat perlakuan yang sama.

Inilah wajah bopeng kita yang selalu bermuka dua, bersikap ganda. Kita selalu menyerukan keadilan untuk semua, persamaan hak dan tidak memandang apapun latar belakang manusia, semua harus merasakan damai, lalu pertanyaannya sudahkah kita bersikap adil terhadap orang-orang dan keluarga yang terstigma sebagai teroris ?  Kalau belum inilah wajah kita.

Ayolah, kita semua sudah lelah dengan konsep-konsep dan program-program, kita membutuhkan orang-orang yang melaksanakan kata-kata, singsingkan lengan baju, datangi anak-istri para korban stigma teroris, beri mereka apa yang kita bisa berikan kepada mereka, walaupun itu hanya sekedar senyum didepan pintu rumah mereka, tapi itulah kewajiban kita sebagai manusia yang masih punya rasa ukhuwah, bahwa keluarga yang ditinggalkan para tersangka teroris, baik yang ditembak aparat maupun yang mendekam dipenjara adalah keluarga kita juga.

Tapi entahlah, kita sudah terlalu cinta dengan keadaan kita yang aman, nyaman hingga kita akan berfikiran seribu kali untuk menolong mereka, kita juga menanamkan fikiran, jangan-jangan kalau memberi orang-orang itu akan tersangkut oleh jaringan mereka, sekerdil inikah kita hingga jiwa kita pun ikut menjadi banci. Kita tidak sedang berbicara tentang tindakan mereka, kita sedang berbicara tentang rasa kemanusiaan kita yang digedor-gedor setiap waktu, yang mengorek telinga kita dengan teriakan lapar anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Kalau belum paham juga berarti kita sudah mati sebelum kematian yang sebenarnya.

Bila hari ini masih banyak yang diam dengan segala kedzaliman setelah keterangan ini, saya hanya bisa berkata "matilah kalian membawa konsep perjuangan".





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline