Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Rezim Pembangunan Indonesia : Pembangunan yang Buta Gender

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14259458311769909608

Oleh: Irfan Teguh Prima, mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi FE UI, anggota KSM Eka Prasetya UI

Disclaimer: Tulisan ini diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, dan tulisan ini pernah masuk dalam kolom opini Majalah Economica 53. Tulisan adalah asli hasil karya penulis.

Menyikapi proses pembangunan yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah hal yang tidak mudah. Pembangunan nasional sudah berjalan selama puluhan tahun dan menghasilkan wajah Indonesia yang modern. Sebagai sebuah proses, pembangunan merupakan pengejawantahan tugas negara untuk memajukan kesejahteraan umum serta menciptakan keadilan sosial. Pembangunan yang Indonesia alami membawa negara kita pada tingkat kehidupan yang jauh lebih baik, pendapatan perkapita terus meningkat dari US$ 84 pada tahun 1970 menjadi sekitar US$ 4000 pada tahun 2013 (World Bank, 2014). Pembangunan telah mempersingkat waktu, mempersempit jarak, dan memungkinkan segala jenis kemajuan zaman dinikmati di seantero negeri. Pembangunan Indonesia kemudian dipuji oleh banyak pihak karena telah menghasilkan kemakmuran dan peningkatan taraf hidup.

Namun, hasil proses pembangunan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia masih meninggalkan banyak permasalahan, salah satu permasalahan yang sangat jarang dibicarakan adalah ketimpangan yang muncul antara kondisi laki-laki dan perempuan. Peran perempuan dalam pembangunan, terutama di bidang ekonomi, memasuki era baru sejak revolusi industri di Inggris. Perempuan yang sebelumnya adalah pengurus kegiatan rumah tangga dan pengasuh anak mulai memasuki pasar tenaga kerja. Revolusi industri memperkenalkan penggunaan tenaga kerja anak dan perempuan dalam industri yang baru muncul. Setelah itu, peranan perempuan di berbagai aspek terus meningkat sampai saat ini. Meskipun begitu, kemajuan yang dirasakan oleh perempuan masih tidak sama dengan laki-laki. Kenyataannya, pembangunan yang ada sekarang, terutama di Indonesia, memperlebar ketimpangan kondisi antara laki-laki dengan perempuan.

Dampak dari suatu pembangunan memang tidaklah selalu linier, pembangunan harus dievaluasi dari berbagai indikator sehingga dapat diambil langkah yang tepat atau tidak di masa depan. Ketimpangan yang dirasakan oleh perempuan sebagai hasil pembangunan dapat dilihat dari berbagai hal, salah satunya adalah ekonomi. Posisi perempuan dalam struktur tenaga kerja sampai saat ini belum menunjukkan tanda perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan upah yang diterima oleh masing-masing kelompok. Kita bisa melihat data rerata upah yang diterima masing-masing kelompok berdasarkan kelompok pekerjaan dari Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas). Mengambil pulau Jawa sebagai contoh, data Sakernas tahun 2010 mengenai upah pada tujuh belas jenis pekerjaan menunjukkan bahwa perempuan memiliki upah lebih tinggi hanya di enam jenis pekerjaan, yaitu tenaga usaha penjualan. Pada sebelas jenis pekerjaan lainnya, upah rerata laki-laki jauh lebih tinggi daripada perempuan.

Pembangunan yang buta gender (gender blind) juga dapat tercermin pada angka pengangguran terbuka yang masih didominasi oleh perempuan. Selain itu, terdapat penelitian yang menemukan bahwa dampak dari program stimulus fiskal oleh pemerintah dalam bentuk investasi pembangunan infrastruktur berdampak jauh lebih tinggi pada laki-laki. Dari seribu lapangan pekerjaan baru yang tercipta akibat adanya program pembangunan infrastruktur, 623 posisi akan diisi oleh tenaga kerja laki-laki dan sisanya oleh perempuan (Chatani dan Ernst, 2011). Pembangunan yang seperti inilah yang disebut dengan gender biased. Kenyataannya, cukup banyak analisa ekonomi, baik makro maupun mikro yang ada saat ini bersifat bias gender dan buta gender.

Perbedaan upah yang diterima oleh dua kelompok ini oleh Richard Anker (dalam Loutfi, 2001) dapat dijelaskan dengan tiga penyebab utama. Penyebab utama pertama adalah karena perempuan diyakini memiliki produktivitas yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga wajar apabila mereka mendapatkan upah lebih rendah. Selain memiliki produktivitas lebih rendah, perusahaan dihadapkan pada biaya yang lebih tinggi ketika mereka merekrut pekerja perempuan, sehingga keseimbangannya adalah upah perempuan akan lebih rendah. Selanjutnya adalah karena struktur pasar tenaga kerja yang tersegmentasi dan menempatkan perempuan seharusnya berada di pasar tenaga kerja informal dengan upah lebih rendah. Penyebab terakhir dari perbedaan upah yang ada adalah karena sistem patriarki yang mengakar kuat di masyarakat serta masih bertahannya stigma-stigma yang mendiskriminasi peranan dan posisi perempuan di tengah masyarakat.

14259460961397135606


Pembangunan yang bias gender dan buta gender tternyata elah lama diterapkan kepada masyarakat Indonesia. Tabel di atas (dikutip dari Zulminarni, 2001) merupakan contoh dari beberapa kebijakan pemerintah Indonesia, terutama pada zaman Presiden Soeharto yang berupaya mengecilkan dan mengerdilkan peran penting perempuan dalam rezim pembangunan nasional. Perempuan selama orde baru dibuat menjadi penyokong proses produksi dengan laki-laki dengan hanya "dijadikan" sebagai ibu rumah tangga saja. Beberapa poin bahkan dengan jelas sangat mengerdilkan kemampuan perempuan dan posisi mereka, kita bisa melihat penjelasan program pertama dimana tertulis bahwa perempuan merupakan pendamping suami, pengelola RT, sampai “penerus keturunan”. Penulis tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa posisi sebagai ibu rumah tangga merupakan posisi yang rendah, tentu posisi tersebut merupakan salah satu posisi terpenting dalam kehidupan yang dianugerahkan terhadap perempuan. Akan tetapi, penulis mengkritik pemerintah yang telah mengerdilkan peran perempuan menjadi hanya pada lima poin tersebut. Padahal kita mengetahui bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan laki-laki, yang harusnya dilakukan adalah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan.

Stigma bahwa perempuan memiliki posisi di bawah laki-laki masih kuat mengakar pada masyarakat Indonesia. Kebenaran stigma ini patut diragukan, dan bahkan diuji. Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan, tenaga kerja, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan lainnya terus meningkat sampai saat ini. Meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah perempuan yang masuk dalam institusi pendidikan. Namun, mereka masih menjadi kelompok yang lebih rentan putus sekolah daripada laki-laki. Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di masyarakat harusnya dapat dimulai dari posisinya dalam keluarga, di mana perempuan ikut serta dalam menentukan berapa jumlah anak yang diinginkan. Hasil dari peningkatan peran perempuan ini tercermin pada menurunnya angka kelahiran (Total Fertility Rate) di Indonesia dari 5,6 (1971) menjadi 2,3 (2010) per perempuan.

Keikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan ternyata mampu memberikan dampak yang lebih baik dalam sebuah program karena ternyata sesuai temuan perempuan lebih jeli, teliti, dan taat peraturan dibandingkan lawan jenisnya. Kita bisa berkaca pada institusi keuangan inklusif di Bangladesh, Grameen Bank, yang memberdayakan perempuan dalam skema kredit mikro dan pengentasan kemiskinannya. Grameen Bank menggunakan skema tanggung renteng dalam memberikan kredit kepada nasabah dimana pengawasan atas kreditnya dilakukan oleh kelompok yang terdiri dari istri para peminjam. Hasilnya adalah tingkat kredit macet yang sangat rendah dari dana yang dipinjamkan kepada masyarakat di sana. Indonesia sayangnya masih belum memiliki koridor langkah-langkah yang jelas dalam memberdayakan perempuan pada proses pembangunan kita. Masih banyak yang ragu dengan seberapa besar sebenarnya kontribusi kaum perempuan bagi perekonomian.

Terdapat satu indikator makroekonomi yang tergolong mengabaikan peranan kaum perempuan, yaitu produk domestik bruto (PDB). Perhitungan PDB dengan jelas tidak memasukkan produksi rumah tangga ke dalam aktivitas perekonomian. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki ibu rumah tangga dengan jumlah sangat banyak, dan ibu rumah tangga ini telah melakukan aktivitas produksi seperti mencuci, memasak, mengasuh anak yang sebenarnya menghasilkan nilai tambah dan bernilai ekonomis, tetapi tidak diperhitungkan. Hal ini cukup aneh karena apabila kita mempekerjakan pembantu untuk melakukan kegiatan yang sama maka dia akan mendapat upah yang nilainya dihitung dalam PDB. Lalu, bagaimana dengan perempuan yang memang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sehari-hari? Mengapa aktivitas produksi mereka tidak dihitung? Mempertimbangkan hal ini saja maka kita baru menyadari bahwa peranan perempuan selama ini telah dikerdilkan hampir di semua aspek. Produktivitas perempuan mengalami underestimate yang besar mengingat terdapat jutaan jiwa ibu rumah tangga di Indonesia yang tidak dihitung aktivitas produksinya.

Pembangunan di Indonesia selama ini diyakini oleh banyak ahli demografi telah bias gender dan buta gender. Rezim dan doktrin pembangunan yang ada dan diajarkan selama ini nyatanya tidak mampu menciptakan keseimbangan peranan antargender. Kenyataannya malah menghasilkan ketimpangan yang apabila tidak ditangani akan menimbulkan dampak serius dalam interaksi antargender. Apalagi, komposisi penduduk Indonesia di masa depan akan didominasi oleh perempuan. Saat ini saja, rasio laki-laki terhadap perempuan sudah turun ke angka 50. Diskriminasi pembangunan yang dialami perempuan bisa memicu konflik sosial kedepannya jika tidak ditangani dengan serius.

Ada beberapa alternatif kebijakan yang bisa ditempuh untuk memperkecil jurang yang memisahkan posisi perempuan dengan laki-laki. Pertama adalah meningkatkan pendidikan perempuan ke taraf yang setara dan memperkecil kemungkinan mereka putus sekolah. Kedua adalah menderegulasi peraturan yang membuat perempuan dalam tenaga kerja hanya menjadi objek peraturan, sehingga mereka kesulitan  keluar-masuk dari pasar tenaga kerja. Ketiga, menerapkan kebijakan pajak yang tidak bias gender dengan menetapkan pajak terhadap laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Pardede, 2014), marginal tax bagi laki-laki juga harus bersifat progresif (Alesina, Ichino, dan Karabarbounis; 2010). Rezim pembangunan nasional harus beradaptasi dengan kenyataan bahwa perempuan juga merupakan subjek penting pembangunan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline