Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang diakui kesuksesannya dalam menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk menuju level yang sangat rendah. Indonesia tercatat memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi pada tahun 1970-an yaitu 2,33% per tahun, sedangkan pada tahun 2010 berhasil ditekan menjadi 1,49% per tahun (Lihat grafik 1). Dalam proses transisi demografis suatu negara, Indonesia telah memasuki tahapan keempat yang berarti kita sedang menikmati tingkat kematian dan kelahiran pada tahapan yang cukup rendah. Pencapaian tersebut merupakan hasil kerja keras selama puluhan tahun dalam memasyarakatkan program pengendalian penduduk sebagai sarana utama mencapai pertumbuhan penduduk yang seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi kita.
Studi terhadap permasalahan dan fenomena kependudukan menjadi makin penting belakangan ini karena terdapat pemahaman keliru di masyarakat umum selama ini atas adagium umum “banyak anak banyak rezeki” yang mengasosisasikan jumlah anak dengan semakin baiknya tingkat ekonomi suatu keluarga. Pemahaman ini hanya tepat pada masa dahulu mengingat sebuah keluarga harus mengolah tanah yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak. Banyaknya jumlah anggota keluarga berbanding lurus dengan output yang berimplikasi pada meningkatnya pendapatan dan standar hidup keluarga tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika dahulu sebuah keluarga bisa memiliki jumlah anak lebih dari sepuluh orang. Namun, perekonomian modern sudah bertransformasi menjadi perekonomian yang berfokus pada pemanfaatan modal secara intensif dan penguasaan teknologi tingkat tinggi. Pertumbuhan penduduk tidak bisa lagi diasosiasikan berhubungan positif dengan tingkat kesejahteraan. Faktanya negara maju di dunia adalah negara dengan laju pertumbuhan penduduk yang rendah yang unggul dalam kualitas penduduknya, meskipun jumlah penduduknya sedikit.
Robert Solow telah menjelaskan hubungan pertumbuhan penduduk dengan tingkat ekonomi suatu negara dalam model pertumbuhan ekonomi yang disebut exogenous growth model atau model pertumbuhan eksogen. Model ini menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, serta kemajuan teknologi. Temuan penting dari model Solow ini adalah adanya hubungan negatif antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Solow, 1956). Oleh karena itu, diperlukan langkah pengendalian pertumbuhan penduduk dalam suatu negara sehingga negara tersebut dapat memaksimalkan potensi faktor produksi lainnya untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.
Berkaca pada data yang ada, Indonesia telah mampu menekan pertumbuhan penduduk dan pada saat yang sama meningkatkan tingkat kesejahteraan per kapita yang tercermin dari PDB per kapita. Jika pada tahun 1970 PDB per kapita kita hanya sebesar US $ 84, pada tahun 2011 sudah mencapai US $ 3.600 (World Bank, 2012). Pada sisi lain, pertumbuhan penduduk kita kedepannya masih akan berkutat pada angka 1,4-0.7%. Dalam laporan bertajuk “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035”, BPS memproyeksikan pada tahun 2035 jumlah penduduk Indonesia sebesar 305,6 juta. Turunnya tingkat pertumbuhan pada masa mendatang disebabkan oleh turunnya tingkat kelahiran dan kematian dengan tingkat kelahiran yang akan mengalami penurunan paling cepat. Selain itu, persebaran penduduk akan semakin divergen dengan persentase jumlah penduduk di Pulau Jawa yang turun dari 57,4% (2010) menjadi 54,7% (2035). Dari fenomena kependudukan yang akan terjadi di masa depan itulah kita bisa menyusun langkah strategis untuk mengakselerasi pertumbuhan kita lebih baik lagi.
Negara kita saat ini sedang berhadapan dengan sebuah fenomena besar kependudukan yang belum pernah kita alami sebelumnya dan tidak akan terulang kembali dalam sejarah negara kita. Fenomena tersebut dikenal dengan nama “Bonus Demografi” atau Demographic Dividend. Bonus demografi sendiri merupakan suatu fenomena yang dicirikan dengan penurunan rasio ketergantungan di suatu negara. Rasio ketergantungan menunjukkan berapa penduduk usia nonproduktif yang ditanggung oleh penduduk usia produktif. Artinya, penurunan rasio ketergantungan akan mencerminkan potensi peningkatan produktivitas perekonomian suatu negara karena penduduk berusia kerja mendominasi jumlah penduduk keseluruhan. Tren ketergantungan Indonesia menurut BkkBN (Badan Kependudukan dan Koordinasi Keluarga Berencana) menunjukkan tanda penurunan sejak 1970 dengan rasio ketergantungan 88,86 per 100 orang usia produktif menjadi 51,31 per 100 orang usia produktif pada 2010 (Lihat grafik 2). Keadaan ini akan berlanjut sampai titik terendah rasio ketergantungan pada tahun 2020-2030 dengan rasio 46,28 per 100 orang usia produktif (Harmadi, 2014). Masa inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Window of Opportunity”. Bonus demografi sendiri telah kita nikmati sejak 2010 dan akan berlangsung sampai 2035.
Implikasi terpenting dari fenomena bonus demografi adalah munculnya kelas pekerja yang berjumlah sangat besar. Kelas pekerja inilah yang kemudian juga akan menjadi masyarakat kelas menengah dengan tingkat konsumsi tinggi, diproyeksikan jumlahnya adalah 135 juta orang pada tahun 2030 nanti (McKinsey, 2012). Semua pertumbuhan yang akan dialami oleh Indonesia ke depannya masih merupakan “peluang” dan belum dapat dipastikan dapat kita raih kedepannya. Penduduk produktif Indonesia dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi negara yang berkelanjutan atau justru menjadi sumber munculnya konflik sosial antarkelas di masa depan (Ramdani, 2013). Peningkatan jumlah penduduk produktif harus diikuti oleh peningkatan kualitas penduduk usia produktif tersebut agar penduduk produktif dapat memperoleh kesempatan kerja yang tepat sesuai kebutuhan dunia kerja atau bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan, terutama ketika globalisasi serta pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menyebabkan arus migrasi tenaga kerja mulai memasuki Indonesia tahun depan.
Penduduk Indonesia selama ini selalu dikatakan memiliki produktivitas yang rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Namun, kenyataan yang ada adalah sebaliknya, dalam rentang 1990-2010, kontribusi produktivitas tenaga kerja kita mencapai 61% dari total pertumbuhan PDB, di atas Malaysia (55%) dan Singapura (45%) (McKinsey, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki potensi yang besar dan seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan fokus pada pengembangan kemampuan kerja sesuai kebutuhan pasar dan bahkan memiliki kemampuan menciptakan lapangan pekerjaan. Sesuai dengan ahli teori pertumbuhan endogen seperti Lucas (1988), dan Romer (1986; 1990), pendidikan atau pengetahuan merupakan salah satu input esensial untuk pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang karena eksternalitas positifnya yang dapat mengatasi berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin menurun pada input lain seperti modal dan tenaga kerja. Dengan kata lain, dibutuhkan pendidikan berfokus keahlian khusus dan penguasaan teknologi bagi tenaga kerja Indonesia untuk mempersiapkan penduduk usia produktif menghadapi tantangan global.
Pembangunan dan pengembangan sektor pendidikan merupakan hal yang harus disiapkan dan dilakukan secara seksama karena dalam pendidikan pihak utama yang terlibat adalah manusia itu sendiri. Bentuk pendidikan secara universal terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan umum dan pendidikan kejuruan/vokasional/profesi. Pendidikan umum merupakan tipe pendidikan yang mempersiapkan bagaimana seseorang dapat hidup baik, sedangkan pendidikan kejuruan mempersiapkan bagaimana agar seseorang dapat bekerja dengan baik (Prosser dan Miller).
Pendidikan kejuruan menurut penulis seharusnya dapat menjadi faktor kunci dalam memaksimalkan potensi bonus demografi yang akan dan sedang dialami oleh Indonesia. Dengan jutaan penduduk usia produktif kedepannya, kebutuhan akan pendidikan menengah dan tinggi serta kemampuan spesifik akan semakin besar. Sistem pendidikan umum tidak dapat menyiapkan seseorang untuk menghadapi dunia pekerjaan sehingga umumnya mereka harus menempuh pendidikan tinggi. Ironisnya, pada tahun 2013 hanya 18% penduduk Indonesia yang berpartisipasi pada jenjang pendidikan tinggi. Menempuh pendidikan tinggi memerlukan biaya yang tinggi dan banyak penduduk Indonesia tidak mampu membayar biaya tersebut, meskipun menjadi lulusan perguruan tinggi tidak memberikan jaminan bagi seseorang dapat langsung menerima penghasilan. Pendidikan kejuruan yang merata dan berkualitas dapat menjadi solusi permasalahan pendidikan dan penyediaan tenaga kerja di Indonesia. Pendidikan kejuruan difokuskan sebagai pengembangan kemampuan sesuai kebutuhan zaman serta memberikan kemampuan manajerial ataupun kewirausahaan.
Berdasarkan hasil studi empiris dari beberapa negara, bentuk pendidikan kejuruan dapat berkontribusi besar dalam pembangunan negara tersebut. Terdapat keunggulan lulusan pendidikan kejuruan dibandingkan lulusan pendidikan umum yang tergambarkan oleh pendapatan setelah bekerja di Mesir (El-Hamidi, 2006), Israel (Neuman dan Ziderman, 1991), dan Thailand (Moenjak dan Worswick, 2003). Berkaca pada hasil studi tersebut, kita dapat melaksanakan pengembangan pendidikan kejuruan dari kondisi saat ini dimana pendidikan kejuruan masih dipandang sebelah mata. Berdasarkan studi lainnya, sekolah kejuruan selalu menjadi pilihan terakhir ketika seseorang melanjutkan studinya, dan pendidikan kejuruan biasanya berisikan mereka yang memiliki kemampuan akademik paling rendah dan tingkat edukasi orang tua paling rendah (Newhouse dan Suryadarma, 2009). Oleh karena itu, kita harus mengembangkan pendidikan kejuruan sesuai dengan identitas dan juga struktur masyarakat dan sosial-ekonomi Indonesia, yakni pendidikan kejuruan yang berfokus pada pertanian, berfokus pada kelautan dan perikanan, pengelolaan pariwisata, serta kemampuan teknik dan rekayasa (informatika, kedirgantaraan, dan mesin).
Pengembangan pendidikan kejuruan Indonesia membutuhkan perhatian dan usaha yang konkret dari seluruh pemangku kepentingan. Pengembangan pendidikan kejuruan dapat mengacu pada “Visi Vokasi Indonesia”. Poin visi tersebut adalah kesadaran bahwa Indonesia membutuhkan jutaan tenaga kerja terampil pada tahun 2030 nanti. Demi menjawab tantangan tersebut direncanakan akan dibangun 100 politeknik baru di seluruh Indonesia dan menjadikan rasio jumlah SMK:SMA menjadi 70:30 pada 2025 (RPJP Pendidikan Nasional 2005-2025). Oleh karena itu, dibutuhkan investasi yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan kejuruan kedepannya.
Permasalahan pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia selama ini adalah 1) Pendidikan kejuruan di Indonesia masih berorientasi pada faktor penawaran dari masyarakat, bukan berdasarkan permintaan dari dunia usaha, 2) Ketidakcocokan nilai dan pengetahuan yang diajarkan antara institusi pendidikan dengan dunia usaha, 3) Sekolah seharusnya dapat menjamin siswanya mendapatkan pekerjaan, mempertahankan pekerjaan tersebut dan terus menaiki jenjang karir (Prosser dan Miller), dan 4) Biaya pendidikan pendidikan kejuruan biasanya lebih mahal dibandingkan pendidikan umum (Newhouse dan Suryadarma, 2009). Permasalahan di atas merupakan beberapa hal utama yang harus secepatnya diatasi oleh pemerintah, institusi pendidikan, serta dunia kerja karena apabila penduduk usia produktif tidak secepatnya mendapatkan kemampuan yang dibutuhkan, kemungkinan besar nantinya tenaga kerja kita akan kalah bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara ASEAN lainnya.
Satu kunci utama dalam pengembangan pendidikan kejuruan terletak pada orientasi yang harus diubah menjadi demand-driven atau pendekatan sesuai kebutuhan sisi permintaan. Selama ini pendidikan kita masih berkutat pada sisi penawaran dan tidak melihat permintaan dari dunia industri itu sendiri sehingga belakangan ini kita dihadapkan pada masalah pengangguran berpendidikan (Lihat tabel 1). Oleh karena itu, diperlukan orientasi yang lebih mengutamakan keadaan industri sebagai pihak yang membutuhkan tenaga kerja. Pertimbangan ini tentunya tidak menjadikan tenaga kerja Indonesia menjadi “robot pemenuh permintaan” saja, tetapi lebih menekankan bahwa pada tahapan awal penduduk usia produktif seharusnya sudah memiliki standar kompetensi tertentu sesuai dengan permintaan dunia kerja. Calon tenaga kerja juga harus dilengkapi dengan softskills dalam kurikulum sekolah kejuruan yang bermuatkan pendidikan manajerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan dengan proporsi yang cukup besar, yaitu sekitar 30%.
Pemerintah dapat memacu tumbuhnya sisi permintaan tenaga kerja dengan cara menstimulasi tumbuhnya berbagai industri padat karya berbasis inovasi dan kreativitas seperti pariwisata, mode, manufaktur berbasis inovasi, serta industri lainnya yang dapat menyerap tenaga kerja lulusan sekolah kejuruan tersebut. Kepada pengusaha industri inovatif tersebut dapat diberikan insentif pajak dan kemudahan dalam mendirikan usaha. Pembangunan dari sisi penawaran juga penting dilaksanakan dengan cara menambah jumlah sekolah kejuruan, investasi pada tenaga pengajar, fasilitas, kurikulum, serta sosialisasi yang luas bahwa pendidikan kejuruan bukanlah tempat “pendidikan kelas dua” seperti yang selama ini dibicarakan oleh khalayak. Biaya pendidikan kejuruan juga perlu diturunkan sebagai insentif bagi masyarakat. Caranya adalah melalui bantuan pemerintah pusat dan daerah serta penyaluran beasiswa dari industri dalam mekanisme subsidi silang. Selain itu, perlu dibangun sebuah saluran komunikasi serta penyaluran lulusan yang kuat yang menghubungkan antara pihak industri dari sisi permintaan dengan institusi pendidikan dari sisi penawaran sehingga potensi ketidakcocokan nilai serta kemampuan bisa diminimalkan.
Indonesia akan memasuki masa pertumbuhan penduduk yang rendah dalam beberapa tahun kedepan. Menurunnya pertumbuhan penduduk tersebut bersamaan dengan masa bonus demografi yang kita nikmati. Seperti namanya, yakni “bonus demografi”, kondisi ini bukan berarti kita dapat bersantai menikmati keadaan yang ada terlebih dengan kondisi persaingan global yang sangat kompetitif. Kita harus menciptakan penduduk usia produktif yang berpendidikan dan berkualitas tinggi sesuai kondisi dunia modern dengan tidak melupakan karakteristik negaranya sendiri. Pendidikan kejuruan yang merata merupakan solusi mempersiapkan penduduk usia produktif Indonesia pada era bonus demografi melalui peningkatan kualitas diri atas penguasaan teknologi dan keahlian terspesialisasi. Pendidikan kejuruan harus menjadi kunci kemajuan Indonesia masa depan.
Referensi
BkkBN. 2013. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta: BkkBN.
BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: BPS.
Newhouse, David dan Daniel Suryadarma. 2009. The Value of Vocational Eduacation: High School Types and Labor Market Outcomes in Indonesia. Policy Research Working Paper 5035. NY: World Bank.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H