Pada akhirnya kita semua akan kembali padanya, seorang seniman pun sama. Mereka akan mati, namun karyanya tetap abadi. Kini Indonesia telah kehilangan, seorang seniman besar di bidang seni pertunjukan, yaitu Nano Riantiarno. Hal ini membuat sedih bagi keluarga dan penikmat karya-karya beliau. Kehebatannya dalam menyulam adegan demi adegan yang dipentaskan ke atas panggung akan dikenang sepanjang hayat.
Seorang sastrawan besar Indonesia, Ajip Rosidi menceritakan bagaimana Nano Riantiarno mendirikan Teater Koma, dalam bukunya Mengenang Orang Lain (2010). Aji menceritakan Nano dengan Ariefin C. Noer yang dari Cirebon merantau ke Jakarta untuk mengembangkan bakat teaternya. Arifin mendirikan Teater Kecil, sementara itu Nano mendirikan Teater Populer bersama Teguh Karya, sebelum pada akhirnya ia mendirikan Teater Koma. Saat ini Teater Koma sudah besar, sudah ratusan karya dipentaskan atas nama Teater Koma.
Norbertus Riantiarno atau akrab disapa Nano Riantiarno lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Pada masa itu Indonesia sedang baru-barunya merdeka, semangat revolusi masih membara dalam setiap warga negara.
Dalam buku Ajip Rosidi yang berjudul Siapa Orang Sunda (2003) menceritakan bahwa Nano memiliki ketertarikannya dengan teater sejak saat masih SMA, saat itu ia bermain drama. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan ke Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1970. Tahun pertama kuliah, Nano langsung mendirikan Teater bersama Teguh Karya. Pada tahun 1977 barulah, Teater Koma ia dirikan sendiri. Selain belajar teater di ATNI, Nano Riantiarno juga belajar filsafat di Sekolah Tinggi Driyakara Jakarta tahun 1971.
Banyak sekali karya-karya Nano Riantiarno yang sudah dipentaskan ke dalam panggung. Adapun karya-karya lain, selain naskah teater diantaranya, yaitu naskah sinetron dan naskah film. Berkat kegigihannya dalam berkarya, Nano memiliki banyak penghargaan baik Nasional maupun Internasional.
Nano mendapatkan Piala Citra untuk Skenario Jakarta-Jakarta (FFI 1978), Piala Vidia untuk Drama Sinteron Karina (FFI 1987), Hadiah Seni dari Departemen P dan K (1993), Piagam Penghargaan untuk Konglomerat Barisrawa dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994) dan masih banyak lagi.
Bersama Teater Koma, Nano memulai perjalanannya dengan pementasan berjudul Rumah Kertas. Dalam karyanya, Nano Riantiarno memilih naskah untuk dipentaskan dari karya-karyanya sendiri atau saduran. Karya-karyanya yang menghibur juga diselipkan kritik yang mengakibatkan dirinya dilarang untuk pentas. Pernah ia dilarang untuk pentas di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1978. Pada waktu itu, Nano bersama Teater Koma akan mementaskan drama berjudul Maaf, Maaf, Maaf.
Melalui teater, Nano menjadikan teater sebagai upacara untuk melihat diri sendiri, daya untuk bersikap jujur, dan menghantarkan diri pada hati nurani. Tujuan mulia dari proses kratif Nano adalah tidak menyakiti siapa pun. Ia merasa gagal ketika kritiknya malah membuat orang merasa terpukul.
Sebagai seorang seniman, Nano Riantiarno juga orang yang bijaksana. Tidak ingin menyakiti orang lain adalah salah satu bentuk cita-cita dari kebijaksanaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H