Hiper realitas adalah sebuah diskursus sosiologi dan filsafat, terutama yang bersinggungan dengan kebudayaan dan perilaku manusia di era post-modern. Seorang Filsuf Perancis, Jean-Baudrillard menganggap bahwa kehidupan post-modern ini sebagai hiperrealitas. Ia menggambarkan media berhenti menggambarkan cerminan realitas social, tetapi malah menjadi realitas itu sendiri. Media seperti TV, Internet, YouTube, Surat Kabar itu menyajikan kebohongan melebihi realitas. Hal itulah yang disebut sebagai Hiperrealitas.[1]
Kesulitan membedakan kebohongan dan realitas itu inti dari hiper realitas. Untuk mendeskripsikan tentang hiperrealitas, Baudrillard juga menganggap dunia ini adalah simulakra.[2] Simulacra adalah sesuatu yang tampak atau dibuat seperti mirip dengan objek yang lain atau Salinan namun tidak bisa menggantikan objek yang asli. Simulakra hanyalah mengaburkan antara yang nyata dan imajiner. Dalam perkembangannya objek yang disalin menjadi lebih baik dari objek yang asli. Hiper realitas tidak dapat dipisahkan dari simulacra, karena merupakan konsep sentral dari diskursus ini.[3]
Contoh yang diberikan Jean-Baudrillard untuk menggambarkan simulacra sebagai hiperrealitas yaitu tentang Disneyland. Mereka yang ke Disneyland percaya bahwa disneyland menampilkan film ke dalam dunia nyata bahkan melebihi film.[4] Dalam dunia digital, sebuah Artificial Intelligence dibuat menyerupai kecerdasan manusia sehingga mampu mengolah data-data bahkan lebih cepat dari manusia.
Lalu Bagaimana Hiper-Realitas dalam Teater?
Dewasa ini teater sudah berkembang sangat kompleks dan semakin melebur dengan media-media digital. Pendekatan-pendekatan dalam penciptaan karya juga diikuti dengan perkembangan dari postmodernisme dan post feminisme.
Hubungan teater dengan teknologi sebagai media baru dalam teater telah berlangsung sejak tahun 1960-an. Seniman mulai menggunakan teknologi komputer dalam kekaryaan mereka, Perkembangan pertunjukan multimedia sebenarnya bergantung pada teknologi film, yang jauh lebih tua. Di awal tahun 70-an, ilmu-ilmu film mulai diterapkan ke dalam seni pertunjukan.[5] Penggunaan visualisasi dengan proyektor, web, bahkan video game dan ilmu perfilman bukanlah hal baru dalam teater. Ruang hiper realitas dibangun dengan kecanggihan teknologi. Memproduksi teater secara online atau virtual juga bentuk dari hiperrealitas, namun tidak bisa menggantikan realitas itu sendiri.
Pada awalnya teater adalah panggung yang digunakan untuk menampilkan pementasan drama dan menjadi ritual bagi kebudayaan dan agama tertentu. Cerita yang berisi pertunjukan dewa-dewa dan memiliki unsur religious. Seiring berjalannya waktu, teater digunakan untuk menggambarkan realitas sosial yang ada di masyarakat. Seperti ketimpangan sosial antara kelas atas dan bawah, bangsawan dan rakyat jelata, atau kaum borjuis dan proletar. Seiring perkembangan zaman, pementasan teater semakin kabur akan makna.
Masuknya layer media atau proyeksi digital dalam seni pertunjukan memperkenalkan sistem tanda yang semakin memperumit penonton tentang makna simbolik. Seorang ahli filsafat Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa seni pertunjukan merupakan satu dari bentuk komunikasi yang paling kompleks, sebab mengikat banyak elemen dan itu disebut semiology simultan.[6]
Hiperrealitas dalam teater bukan sekedar penggunaan cyberspace sebagai media pertunjukan. Cyberspace hanyalah salah satu alternatif untuk membuat Salinan panggung teater yang dapat ditonton di layer kaca, seperti di Smartphone, Laptop bahkan di Android TV. Namun, penggunaan-penggunaan teknologi dalam karya teater dapat membantu seniman dalam menciptakan karya yang melampaui realitas.
Para seniman juga biasanya memiliki keresahan terhadap apa yang dia lihat, kemudian membuatnya ke dalam satu pertunjukan atau karya. Dalam teater seniman boleh melakukan kritik terhadap hiperrealitas atau malah membanggakannya. Penggunaan media baru dalam teater adalah salah satu dari perkembangan teater abad ke-21. Para seniman bisa menggunakan proyektor, visualizer, audio yang eksperimentatif, kecerdasan buatan, kamera dan sebagainnya.