Langit biru yang dilengkapi awan-awan tebal diiringi suara angin riuh yang menyejukan hati yang marah. Bentangan savana terhunus angin menggelembang bagai ombak tenang di samudera yang luas serta dalam.
Matahari yang masih saja setia dengan terik dan suara angin masih saja riuh. Ku tatap jauh sebuah sebuah sudut bumi dari savana yang membentang lingkar. Kira-kira 180 derajat oleh mata. Padanya ku serahkan semua rasa dengki.
Ku tarik napas kemudian rumput mengikuti bergelombang.Ku sandarkan punggungku pada sebuah pohon yang berdiri tegak dan tumbuh ditengah hamparan savana.
Aku letakkan tas kayu yang berisi alat lukis di sampingku sementara rasa haus akibat terlalu lama berjalan ditengah savana, aku teguk sisa air yang ku ambil di sungai tadi. Tapi, matahari masih saja terik meski haus kini sudah memudar.
Aku memandang lukisan lamaku, aku ambil kemudian ku pandangi. Tiba-tiba aku teringat pada waktu ketika aku berhasil memberikan lukisan ini pada Erisa, dia bawanya dan dia peluknya lukisanku. Kemudian membayar dengan senyuman manisnya dan sedikit bahasa isyarat yang artinya terima kasih banyak.
Erisa tidak bisa berbicara sama sekali, bahkan bahasa isyaratnya pun tidak pandai dan masih sulit dipahami, aku mengajarinya sedikit demi sedikit.
Tapi, Erisa begitu cantik, dengan kulitnya yang hitam legam dan gelang yang dipakainya tanda dia milik tuannya dan gelang yang satunya aku berikan sebagai tanda dia milikku.
Namun, Erisa kini dijual Tuannya karena perkebunan kapas milik Tuannya baru saja dibakar oleh pesaingnya. Sobek pada lukisan ini karena aku mengambilnya dari Ayahku, Si Tuan jalang yang menjual belahan jiwaku pada begundal pengepul para manusia.
Angin tiba-tiba semakin kencang dan mataharipun menuju ke tempat ia tenggelam. Tenggelam bersama langit biru dan awan bisa saja mendung ditinggalkan matahari dan langit kebiruan. Angin kencang itu membawa kenangan tentang Erisa namun kesedihannya ditinggalkan.
Dua tetes air mataku jatuh pada kanvas. Erisa, semoga engkau bahagia dengan Tuan barumu. Savana ini begitu tenang dan sangat memabukan. Engkau bisa menyaksikannya sendiri, mungkin membayangkannya dari kapal yang engkau tumpangi saat ini, yang tujuannya entah kemana. Tapi yang jelas di bawah pohon ini dari savana yang membentang luas aku merindukanmu. Seperti Ophelia merindukan Hamlet atau seperti Hamlet yang merindukan Ophelia.
Erisa, kalau saja lukisan ini masih saja dipelukkanmu aku tidak akan mungkin menemui savana ini. Aku akan melihatmu saat kau memetik kapas bersama temanmu. Savana ini ikut menyaksikan aku merindukanmu, Erisa.