10 Oktober lalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day. Awalnya, saya tak menyadarinya hingga #WorldMentalHealthDay telah menjadi tren di linimasa Twitter.
Yang membuat peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia yang ke-28 ini terasa spesial adalah, karena berlangsung saat pandemi Covid-19. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa pandemi virus corona tak hanya memberi dampak secara finansial, tapi juga mental.
Maka wajar bila #WorldMentalHealthDay selalu diawali dengan pesan-pesan moral, nasihat, motivasi, dan tips kesehatan mental terutama yang berkaitan dengan efek pandemi. Momen peringatan tersebut akhirnya jadi ajang saling mendukung dan mewanti-wanti soal pentingnya menjaga kesehatan mental.
Tak luput dari pengamatan penulis bahwa, beberapa dari mereka yang mengikuti tagar tersebut berbagi nasihat soal bahayanya self diagnose dan bahayanya memberi diagnosis kepada orang lain tanpa diikuti kepentingan untuk kebutuhan penyembuhan atau pengembangan diri orang lain.
Masalahnya, diagnosis semacam itu sering kali keluar dari mulut para mahasiswa psikologi. Orang yang sedang menempuh perjalanan suci demi mendapat gelar Sarjana Psikologi yang seharunya paham betul bahayanya mendiagnosis orang lain secara sembarangan.
Setidaknya, inilah pengalaman pribadi penulis beberapa tahun lalu soal mahasiswa psikologi di salah satu kampus di Indonesia yang membuat penulis memilih menjauh atau enggan berteman dengan mereka.
Begini kisahnya,...
Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu ajang bertemunya mahasiswa lintas jurusan. Mereka tergabung dalam satu kelompok yang memiliki visi dan misi berbeda tiap kelompoknya, tergantung tema dan wilayah penempatannya.
Nah, salah satu kawan saya mendapat teman kelompok beberapa mahasiswa psikologi. Sebetulnya, ini bukan pengalaman pertama saya berkenalan dengan mahasiswa psikologi, lha wong teman saya juga menempuh pendidikan di jurusan ini kok.
Akan tetapi, ini adalah pertama kalinya saya mendengar kemampuan menilai, mendiagnosis, dan melabeli orang lain yang dimiliki dan dipelajari mahasiswa atau lulusan psikologi.
Pada saat di kantin kampus, teman sejurusan saya memanfaatkan kemampuan teman sekelompoknya tersebut untuk menilai dirinya, temannya, dan beberapa orang yang ada di kantin. Teman saya ini meminta si mahasiswa psikologi itu untuk menilai alias membaca kepribadian orang lain.
Bagaimana caranya? Hanya dengan memandangi targetnya saja. Ya, cukup dengan langkah tersebut dan dibarengi melihat gerak-gerik serta caranya berbicara. Sederhana, tapi bagi saya menjengkelkan.