Lihat ke Halaman Asli

Menakar Integrasi Ekonomi Asia Tenggara — AEC 2015

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

ASEAN Economic Community sebagai bentuk integrasi ekonomi regional merupakan agenda utama negara ASEAN, visi ASEAN untuk membangun kawasan Asia Tenggara yang terintegrasi dalam pembangunan ekonomi yang merata dan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi sekiranya perlu diapresiasi sebagai sebuah langkah besar untuk memajukan negara ASEAN bersama. Perihal ini sebelumnya sudah pernah diutarakan pada tahun 1998 di Hanoi yang menyatakan niat ASEAN untuk menciptakan kawasan yang sejahtera dan sangat kompetitif dimana terdapat arus barang, jasa, dan modal yang terintegrasi di ASEAN. Wacana ini kemudian dilanjutkan tahun 2003 pada Deklarasi ASEAN Concord II, dengan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) yang bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, mengubah keragaman yang menjadi ciri khas daerah menjadi peluang untuk komplementasi bisnis sehingga diharapkan segmen ASEAN menjadi lebih dinamis dan memiliki peran ekonomi yang kuat pada skala global. Negara-negara ASEAN melihat bahwa jika mereka tidak bergabung dengan pasar terfragmentasi kecil sesuai dengan potensinya sebagai bagian dari satu kesatuan besar yang terintegrasi, mereka akan kalah dalam persaingan global yang semakin meningkat untuk investasi langsung asing, mereka akan merasa sulit untuk mengembangkan ekonomi mereka dan menyediakan pekerjaan dan lebih tinggi standar hidup bagi rakyatnya. Biaya bisnis akan tetap tinggi, dan pilihan bagi konsumen akan tetap terbatas. Konsep integrasi ekonomi telah lama diterapkan oleh negara-negara Uni Eropa dan konsep integrasi dengan jelas akan membawa kekuatan baru politik melalui ekonomi yang akan diterapkan di Asia Tenggara. Namun, perlu diwaspadai bersama akan dampak internal ekonomi yang mungkin akan terjadi ketidakadilan dalam implementasinya serta ketahanan ekonomi bersama sehingga potensi krisis pada negara Asia Tenggara tidak menyebar dan tidak memberikan dampak yang besar terhadap negara lainnya dalam kawasan. Tentunya ketika menjadi sutu bagian dari basis produksi setiap komponen dalam sistem produksi harus mendapatkan porsi keuntungan secara adil. Peran dan Posisi Indonesia Indonesia telah mengalami pertumbuhan industri yang sangat pesat  dalam dua dekade terakhir. Hal ini dibuktikan dengan peralihan basis ekspor Indonesia dari sektor minyak dan gas menjadi sektor industri manufaktur dalam rentang periode 1985-2005. Pada periode tersebut peralihan tenaga kerja secara masif mulai terserap ke industri karena merupakan sektor padat karya (labour intensive) dari sebelumnya sektor migas yang padat modal (capital intensive). Namun, seiring berjalannya waktu,  ternyata pengeksklusifan sektor tertentu merupakan sesuatu yang keliru. Ketika industri mulai beralih pada teknologi yang lebih maju, buruh pekerja kasar yang tergolong dalam unskilled labour mengalami tren menurun sebagai pengangguran atau menjadi pekerja kasar di negeri orang. Walaupun pekerja kasar tetap dibutuhkan oleh industri dalam negeri, tetapi tren pada komponen pekerja skilled labour yang tergolong dalam human capital intensive ditandai dengan kapasitas pendidikan yang lebih tinggi semakin meningkat. Hal ini disebabkan meningkatnya pemakaian teknologi (technology intensive) dalam industri yang membutuhkan operator dengan kemampuannya yang lebih canggih. Untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas SDM dalam negeri tentunya dibutuhkan pendidikan dan riset sebagai penunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan perekonomian. Peran serikat buruh untuk menjamin kesejahteraan pekerja unskilled labour pun diharapkan semakin memiliki visi yang lebih besar pada skala nasional bukan hanya penuntutan upah regional dengan sektor buruh tertentu. Sementara sektor pertanian yang dahulu kita dikenal sebagai negara yang paling kaya dan berlimpah akan pangan justru bergeser secara drastis akibat lahan-lahan pertanian yang bergeser fungsi menjadi tambang dan perkebunan akibat industrialisasi. Thailand dan Vietnam sebagai pemegang peran utama dalam menjamin pasokan pangan ASEAN menjadi semakin diatas langit sementara Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar se-ASEAN akan menjadi negara yang paling terancam akan krisis pangan karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri jika liberalisasi terus terjadi. Petani-petani diimbau untuk melindungi lahan-lahan dari pengalihan fungsi untuk menjaga produktifitas pangan nasional, serikat petani pun harus semakin proaktif untuk menyelesaikan konflik agraria. Lahan untuk penggarap! Indonesia dalam ASEAN memiliki peran yang besar secara historis sebagai negara ASEAN-6 yaitu enam negara asli – Indonesia , Malaysia , Filipina , Singapura dan Thailand – dan ditambah Brunei Darussalam. Walaupun bukan menjadi negara dengan perekonomian termaju di ASEAN, namun Indonesia sangat membutuhkan kerjasama perekonomian yang erat dengan negara di ASEAN karena berdasarkan statistik dari tahun 1995-2000 pertumbuhan rata-rata Indonesia 0,46% dari total perdagangan ASEAN dan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,02% dari perdagangan sesama negara ASEAN.  Sedangkan pada tahun 2000-2007 pertumbuhan rata-rata Indonesia 7,38% dari total perdagangan ASEAN dan pertumbuhan rata-rata sebesar 12,06% dari perdagangan sesama negara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN sebagai negara tetangga Indonesia menjadi topangan perekonomian dikala krisis 1997-1998 dan pemulihan perekonomian selama periode pasca 2000. Mungkin dalam konteks perdagangan barang Indonesia masih memiliki peran besar di ASEAN, bagaimana dengan pasar investasi dan tenaga kerja yang akan diliberalisasi pada AEC 2015? Kontribusi tenaga kerja Indonesia unskilled labor dan skilled labordi ASEAN sangat besar. Indonesia sebagai negara periferi mengurusi bagian manufaktur hardware yang padat karya sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja murah yang tidak terlalu terampil. Selain itu ketidakmampuan kita akan teknologi hanya akan menjadikan kita tempat industri tahap awal (bahan mentah menjadi setengah jadi) akan menyebabkan pengeksploitasian alam yang dikenal paling boros energi dan menghasilkan banyak polusi bagi lingkungan. Penanaman Modal Asing (PMA) secara langsung / Foreign Direct Investment (FDI) adalah arus modal dimana perusahaan / investor dari suatu negara mendirikan atau memperluas perusahaannya di negara lain. Oleh karena itu tidak hanya terjadi pemindahan sumber daya, tetapi juga terjadi pemberlakuan control terhadap perusahaan di luar negeri (Krugman, 2010). FDI dari ASEAN-5 yang terdiri dari Malaysia, Indonesia, Singapore, Thailand, dan Vietnam menyumbang bagian terbesar meskipun hal ini semakin menurun dari tahun 2006-2008. Sebelum terjadi krisis 1998 antara rentang 1970-1990an AS merupakan sumber utama FDI di Indonesia. Namun, sejak akhir 1990-an, Jepang dan beberapa negara Eropa menyumbang sebagian besar FDI sementara Korea Selatan, Hong Kong dan China pun turut meramaikan berinvestasi di Indonesia. Setelah pemulihan krisis 1998, pada awal 2000an kapasitas negara khususnya ASEAN-5 mulai mampu melakukan investasi intra-ASEAN sementara FDI yang berasal dari sumber lain mengalami kemunduran akibat krisis keuangan global pada tahun 2008. Berdasarkan data FDI dari ASEAN Economic Community Business Survey Indonesia masih berada pada urutan kedua terbawah FDI hal ini disebabkan masih besarnya kebutuhan modal yang dapat digunakan dalam negeri (domestik). Namun, hal ini perlu diwaspadai jikalau modal yang masuk ke Indonesia justru tidak diimbangi dengan peraturan yang ketat. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), salah satu lembaga yang menjamin arah penanaman modal agar dapat menyentuh dan bermanfaat bagi masyarakat dengan asas serta prinsip keadilan melalui rumusan kebijakan pemerintah pada bidang penanaman modal dari dalam maupun luar negeri. Lembaga dan Pengintegrasian ASEAN Pembentukan pasar dan basis produksi yang terintegrasi antar negara-negara berkembang membutuhkan penyesuaian struktur produksi dan beberapa reformasi kebijakan di setiap negara anggota. Poin utamanya adalah insentif bagi investasi swasta baru (melalui mekanisme kemudahan birokrasi, dsb), kesejahteraan umum, serta disiplin anggaran dan moneter. Ketidakstabilan harga dan ketidakjelasan kebijakan telah menimbulkan kekhawatiran karena meningkatnya risiko bagi para pedagang, produsen, dan konsumen serta memberikan kontribusi untuk ketidakstabilan pendapatan ekspor, impor, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Dalam ASEAN Regional Forum, kebijakan melalui lembaga merupakan instrumen strategis untuk menghindari building on sand yaitu pembangunan ekonomi pasir yang mudah roboh akibat besarnya faktor eksternal dari masing-masing negara dalam regional. Apakah perlu melakukan reformasi kelembagaan ASEAN dalam rangka menunjang tercapainya integrasi? Mungkin, pelajaran dapat diambil dari Masyarakat Ekonomi Eropa ( MEE ), dimana penyediaan infrastruktur hukum jelas ditetapkan telah membantu negara-negara anggota dalam proses integrasi dan telah meningkatkan antara lain aspek perdagangan dan investasi di Eropa. Lembaga supranasional yang menghubungkan ekonomi negara dalam regional memungkinkan untuk “mengunci” hasil pembangunan ekonomi negara-negara anggota sejak tahun 1950-an. Lembaga di EEC juga tergantung pada kedua struktur supranasional serta interaksi antara berbagai lembaga (struktur antar pemerintah yang diwakili oleh kepala pemerintahan dan pejabat dari berbagai negara anggota) untuk mempertahankan peran ekonomi dan politik yang efektif. Agar AEC dapat dirasakan manfaat serta semangatnya, perlu ada badan utama supranasional untuk mengawasi dan mengkoordinasikan tugas-tugas administratif untuk mendirikan dan menetapkan kebijakan, koordinasi, pelaksanaan, dan menegakkan perjanjian dan protokol sekarang dan di masa depan. Organ supranasional kini seperti sekretariat ASEAN, masih belum memiliki sumber daya, kekuatan, dan keahlian yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut secara efektif. Menurut Soesastro ( 2003), pembentukan badan-badan regional independen seperti ” unit regional” dikelola oleh warga negara yang secara formal independen dari pemerintah ASEAN akan mampu mengelola program untuk mempercepat integrasi ekonomi, menegakkan keadilan dalam perdagangan, serta bantuan bagi pemerintah yang akan menjadi inovasi kelembagaan utama bagi ASEAN. Badan supranasional harus dipertimbangkan secara serius dalam konteks pengembangan AEC. Dalam konteks yang sama, Akrasanee dan Arunanondchai ( 2003 ) menyarankan ASEAN harus mempertimbangkan mendirikan dua badan supranasional : 1 ) ASEAN Court of Justice, yang akan bertanggung jawab untuk permukiman sengketa , dan 2 ) Sekretariat ASEAN Economic, yang akan bertanggung jawab untuk kebijakan umum pengelolaan ekonomi makro ASEAN. Akhirnya, kurangnya kemauan politik yang kuat di antara negara-negara anggota untuk mengubah modalitas yang ada untuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih dalam menuju AEC masih tetap menjadi kendala utama. Pembangunan Inklusif dalam AEC Globalisasi mau tidak mau harus dihadapi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pembangunan dapat inklusif bukan eksklusif. Dalam sebuah pidato pembukaan Forum Ekonomi Dunia Asia Timur (WEFEA) tahun 2011, SBY menegaskan, “Globalisasi harus inklusif dan bukan eksklusif, harus pragmatis dan bukan dogmatis, bersatu daripada terbagi, diarahkan pada tantangan global umum, bukan diarahkan pada kelompok tertentu dari negara Ini harus didorong oleh keharusan kerjasama daripada konfrontasi oleh kolaborasi daripada penaklukan”. Sayang pidato hanya sekedar retorika dihadapan pemodal dan pejabat dunia. Sebuah pertanyaan besar dalam pembangunan inklusif adalah seberapa besar implikasi seluruh potensi perekonomian Indonesia dalam AEC yang telah dijelaskan diatas terhadap kesejahteraan sosial di Indonesia? Apalah artinya globalisasi dengan semangat kesejahteraan global lewat perekonomian, pasar, dan alat produksi yang seharusnya bisa menyentuh seluruh entitas manusia namun justru hanya memihak sebagian komplotan pemodal besar. Kebijakan sosial perlu diterapkan pada sebuah negara yang berlimpah sumber daya alam, namun justru tidak menguasai sumber daya alamnya ; menjadi pusat industri, tetapi kesejahteraan buruhnya dipertanyakan. Kebijakan sosial dalam format negara kesejahteraan bukan lah kebijakan yang bersifat parsial (terpisah) dan temporer (sementara), melainkan dalam kerangka besar yang membatasi pola kebijakan negara. Sehingga dalam hal ini, negara tidak bisa secara bebas membuat design kebijakan di luar pedoman kebijakan sosial dalam kerangka kesejahteraan. Orientasi pemerintah dalam memandang globalisasi harus diubah, kebijakan ekonomi-politik tidak ditujukan untuk memperbaiki standar hidup rakyat dalam rangka menciptakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pemerintah terlalu konformis terhadap tuntutan internasional yang mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan tindakan-tindakan altruistik dalam forum multilateral. Pemerintah merasa paranoid jika tidak mengintegrasikan diri dalam ekonomi internasional. Ketakutan bahwa ekonomi Indonesia akan tertinggal dari negara lain menyebabkan pemerintah berpaling ke globalisme ekonomi. Pemujaan terhadap globalisme ekonomi inilah yang menjadi sebab utama nasionalisme ekonomi Indonesia kian jauh dari harapan publik. Hal paling fundamental dan mendesak untuk dilakukan pemerintah saat ini adalah mengubah haluan kebijakan dari globalisme ekonomi ke nasionalisme ekonomi yang memusatkan perhatian pada proyek kesejahteraan rakyat dan pemerataan pendapatan. Penurunan kemiskinan, kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan dan pendidikan harus menjadi perhatian utama dalam kompetisi perdagangan global dan AEC 2015. Refrensi : -          Krugman, Paul. 2010. Macroeconomics.Worth Publisher -          Sean Flynn, Campbell McConnell and Stanley Brue. 2013. (ebook). Macroeconomics. McGraw-Hill. -          Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Indonesia. -          Calhounl, Craig. “The Cultural Politics of Global Economic Integration”. -          Hu, Albert G.. 2013. “ASEAN Economic Community Business Survey”. The ASEAN Economic Community : Work in Progress -           Nesadurai, Helen E.S.. 2013. “Enhancing the Institutional Framework for AEC Implementation: Designing Institutions that are Effective and Politically Feasible”. The ASEAN Economic Community : Work in Progress -          Dr. Dionisius A. Narjoko Economic Research Institute for ASEAN and East Asia dan Dr. Teguh Y. Wicaksono Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia. “Achieving the ASEAN Economic Community Agenda: an Indonesian Perspective”. -          Langhammer, Rolf J.; Hiemenz, Ulrich. 1990. “Regional Integration Among Developing Countries : Opportunities, Obstacles and Options”. Kiel Institute for the World Economy (IfW), Jerman. -          Severino, Rodolfo C.. “Regional Economic Integration and Cultural Change”. International Culture Dialogue Bertelsmann Stiftung -          A. Prasetyantoko, Sugeng Bahagijo, dan Setyo Budiantoro, “Prospek dan Tantangan Pembangunan Inklusif”. -          Andrinof A. Chaniago, “Negara, Ekonomi Pasar, dan Pembangunan Kawasan”. -          Rosyidin, Mohamad, “Hegemoni Globalisme : Tantangan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kerakyatan di Tengah Pusaran Globalisasi”. -          Survei OECD Perekonomian Indonesia. September 2012

Irfan Nasrullah

@irfanasrullah

irfanasrullah.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline