Lihat ke Halaman Asli

Irfan Madhewa Putra Waskito

Universitas Airlangga

Artificial Intelligance

Diperbarui: 11 Januari 2025   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apakah Teknologi AI telah Mengubah Budaya Manusia?

Artificial Intelligence (AI) kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Mulai dari cara kita bekerja, belajar, hingga bersantai, teknologi ini menyusup ke hampir setiap aspek budaya. Dalam seni, AI mampu menciptakan lukisan, musik, bahkan film yang menggugah rasa. Di dunia pendidikan, AI mempermudah pembelajaran personal dengan teknologi adaptif yang memahami kebutuhan unik setiap pelajar. Bahkan dalam tradisi, AI telah digunakan untuk mendokumentasikan budaya lokal dan melestarikan bahasa-bahasa yang terancam punah. Keberadaan AI telah menciptakan dunia di mana teknologi tak hanya menjadi alat bantu, tetapi juga mitra yang memengaruhi cara manusia memandang, menciptakan, dan melestarikan budaya.

Fenomena ini terjadi karena AI dirancang untuk "belajar" dari data, memungkinkan teknologi ini memahami pola, perilaku, dan kebutuhan manusia dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Keunggulan AI terletak pada kecepatannya dalam menganalisis informasi dalam jumlah besar dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan berbagai konteks. Inilah mengapa teknologi ini mampu merambah banyak sektor kehidupan---dari kesehatan yang mengandalkan AI untuk diagnosis penyakit lebih cepat, hingga bisnis yang memanfaatkan algoritma untuk memahami pasar dan pelanggan. Dengan kemampuannya untuk "berpikir" seperti manusia, AI menawarkan efisiensi, ketepatan, dan inovasi yang tak tertandingi, menjadikannya solusi utama dalam era yang serba cepat dan penuh tuntutan.

di balik dominasi AI, tersimpan ironi: teknologi ini adalah cerminan dari budaya kita sendiri. AI "belajar" dari data yang kita berikan data yang sarat dengan nilai, tradisi, hingga bias kita. Di sinilah letak dualitas AI. Di satu sisi, ia mempercepat perubahan budaya dengan menghadirkan cara-cara baru untuk bekerja, berkreasi, dan berkomunikasi. Di sisi lain, AI juga terikat pada budaya penciptanya, yang berarti ia sering kali melestarikan, bahkan memperkuat norma dan pola pikir tertentu. Dalam kasus ini, AI bukan hanya alat teknologi, melainkan kekuatan sosial yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan budaya manusia. Fenomena ini menjadikan AI lebih dari sekadar inovasi; ia adalah katalis perubahan global yang terus berkembang.

Saat ini, Artificial Intelligence (AI) telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek budaya manusia. Salah satu transformasi paling nyata adalah bagaimana kita bekerja, berkomunikasi, dan mengonsumsi informasi. Di era digital, budaya manual dan tradisional mulai tergantikan oleh otomatisasi dan efisiensi yang ditawarkan oleh AI. Pola interaksi sosial pun berubah: dari komunikasi tatap muka menjadi percakapan virtual yang didukung chatbot atau asisten virtual seperti Siri dan Google Assistant. AI juga memengaruhi budaya konsumsi seni dan hiburan. Konten yang kita nikmati, seperti musik di Spotify atau rekomendasi film di Netflix, kini dikurasi oleh algoritma berbasis AI yang memahami preferensi kita.

Di Indonesia, perubahan ini sangat terasa dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam dunia kerja, AI telah mengubah budaya kerja konvensional menjadi lebih digital dan efisien. Teknologi seperti OCR (Optical Character Recognition) untuk otomatisasi dokumen, serta platform AI untuk analisis data bisnis, telah menggantikan banyak pekerjaan manual. Dalam pendidikan, AI mendukung pembelajaran berbasis personalisasi, seperti aplikasi Ruangguru, yang menggunakan algoritma untuk memberikan materi sesuai kebutuhan siswa. Bahkan dalam budaya tradisional, AI mulai digunakan untuk melestarikan seni lokal, seperti penciptaan batik digital berbasis AI atau dokumentasi cerita rakyat melalui teknologi suara.

Dampak dari perubahan ini sangat signifikan, baik positif maupun negatif. Secara positif, AI telah mempercepat inovasi di berbagai bidang. Di sektor ekonomi, banyak pelaku UMKM di Indonesia yang terbantu oleh teknologi AI untuk menjangkau pasar lebih luas melalui platform e-commerce yang mengoptimalkan pencarian produk dan pemasaran digital. Dalam budaya tradisional, AI membantu melestarikan warisan budaya dengan membuat data digital tentang seni, musik, dan bahasa daerah. Namun, sisi negatifnya adalah ancaman homogenisasi budaya. AI sering kali memprioritaskan tren global dibandingkan nilai-nilai lokal, sehingga tradisi unik perlahan-lahan tergeser oleh budaya universal yang lebih modern dan populer.

Selain itu, perubahan ini juga memunculkan tantangan sosial yang signifikan. Ketergantungan pada AI dapat mengurangi keterlibatan manusia dalam proses kreatif dan interaksi sosial. Di Indonesia, misalnya, penggunaan asisten virtual dalam layanan pelanggan mengurangi lapangan kerja di sektor jasa. Selain itu, algoritma AI yang dirancang untuk efisiensi kadang-kadang mengabaikan nilai-nilai lokal, seperti konsep gotong royong yang menjadi inti budaya Indonesia. Dengan semakin kuatnya pengaruh AI, penting bagi kita untuk menemukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi ini dan tetap menjaga nilai-nilai budaya yang membentuk identitas kita sebagai bangsa.

Jika perubahan yang dipicu oleh Artificial Intelligence (AI) terus berlanjut dalam 10 tahun ke depan, kita akan melihat budaya manusia yang semakin didominasi oleh teknologi. Tradisi lokal yang sebelumnya diwariskan secara langsung dari generasi ke generasi bisa semakin tergeser oleh budaya digital yang serba instan dan global. AI, dengan kemampuannya menciptakan konten, bisa saja menggantikan seniman tradisional, menghasilkan karya yang tak lagi memiliki sentuhan manusia. Di sisi lain, pola komunikasi manusia akan semakin bergeser dari interaksi langsung ke interaksi berbasis teknologi, memperlemah nilai-nilai sosial seperti kebersamaan, gotong royong, dan empati. Dalam skenario terburuk, homogenisasi budaya yang didorong oleh AI dapat mengakibatkan hilangnya keragaman budaya dunia, termasuk warisan budaya Indonesia yang kaya.

Dalam waktu 10 tahun, AI juga berpotensi menciptakan jurang sosial yang lebih lebar. Ketergantungan pada teknologi ini akan menempatkan mereka yang tidak memiliki akses atau literasi digital dalam posisi yang kurang menguntungkan. Misalnya, masyarakat pedesaan yang masih mengandalkan tradisi lisan mungkin akan kesulitan mempertahankan budaya mereka di tengah dominasi konten digital yang dihasilkan oleh AI. Selain itu, AI yang dibangun berdasarkan data global sering kali tidak memahami nilai-nilai lokal, sehingga tradisi seperti adat istiadat atau praktik budaya tertentu mungkin akan terpinggirkan. Ketidaksetaraan ini dapat memunculkan perasaan keterasingan di kalangan masyarakat yang kurang terpapar teknologi.

Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, pelaku teknologi, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem AI yang inklusif dan beretika. Solusi yang dapat diterapkan meliputi pengembangan teknologi AI berbasis lokal yang dirancang untuk mendukung dan melestarikan budaya. Contohnya adalah pengembangan aplikasi yang mendokumentasikan tradisi, seni, dan bahasa daerah menggunakan teknologi AI. Selain itu, literasi digital harus menjadi prioritas, terutama di daerah-daerah terpencil, untuk memastikan masyarakat memahami cara memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan akar budaya mereka. Kebijakan yang mengatur etika penggunaan AI juga harus diterapkan untuk mencegah homogenisasi budaya dan mempromosikan keberagaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline